Bisnis.com, DAVOS - Para pebisnis nasional berupaya untuk memperkuat jaringan di level global dengan cara hadir dalam ajang pertemuan tahunan World Economic Forum di Davos, pekan lalu.
Sejumlah pengusaha nasional yang tampak hadir antara lain John Riady, Anindya Bakrie, dan Wisnu Wardana. Demikian juga Presdir Astra International Prijono Sugianto dan Dirut Bank Mandiri Budi Sadikin hadir di Davos.
Direktur Eksekutif Grup Lippo John Riady mengatakan banyak pengusaha Indonesia hadir di WEF guna meningkatkan jaringan dengan sesama pengusaha di luar negeri.
"Dalam berbagai kesempatan mereka menyatakan minatnya dan untuk berinvestasi dan menjalin kerja sama dengan Indonesia," ujarnya.
Menurut John, kendati menghadapi tantangan dari kebijakan tapering off quantative easing dari pemerintah AS, mereka tetap menyatakan minatnya.
"Kehadiran kelas menengah yang tinggi membuat mereka tertarik investasi ke Indonesia. Namun, harus tetap didukung oleh kebijakan pemerintah dan infrastruktur," lanjut John.
Menurut John, kehadiran para pejabat pemerintah dalam ajang WEF tersebut merupakan upaya serius dalam menjaring investasi asing.
Dalam kaitan WEF, Lippo Group menyelenggarakan Lippo Davos Lunch Dialog dengan tema "Are Emerging Market Prepared For Fed Tapering and New Realities.
Acara itu menghadirkan mantan Gubernur Bank Sentral Eropa Jean-Claude Trichet, mantan pimpinan Goldman Sahcs Jim O'Neill, Mendag Gita Wirjawan, dan Kepala BKPM Mahendra Siregar.
Para eksekutif tersebut juga melakukan berbagai pembicaraan bisnis dengan partnernya. Seperi Bank Mandiri melakukan pembicaraan dengan 75 perbankan internasional yang membahas perbankan global, termasuk dampat dari quantitative easing pemerintah AS.
Menurut Pahala N. Mansyuri, Direktur Keuangan Bank Mandiri, yang ikut dalam pertemuan itu, kita tidak bisa mnyalahakan quantitative easing karena ini merupakan kebijakan moneter yang memang perlu dilakukan di suatu negara yang sedang mnghadapi kondisi resesi atau depresi di negaranya.
Namun, menurut dia, memang mestinya ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian bagi negara yang menjalankan kebijakan ini, yaitu harus ada monitoring.
Kedua, normalisasi kebijakan QE hars dilakukan secara bertahap sehingga tidak menimbulkan goncangan di sektor moneter maupun riil.
Pengalaman yang ada saat ini adalah dampak QA tidak optimal di negara yang menjalankan, karena tambahan dana yang ada hanya masuk ke sektor finansial dan kurang bisa menggerakkan sektor riil. Pertumbuhan bank lending masih kecil dan perusahaan masih enggan investasi. Akibatnya sektor riil belum bergerak.