Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia tengah menghadapi tantangan yang semakin kompleks dalam menjaga ketahanan energi yang berkelanjutan. Ketergantungan yang tinggi pada energi fosil, khususnya batu bara dan minyak bumi, tidak hanya menimbulkan tekanan besar terhadap lingkungan melalui emisi karbon yang masif, tetapi juga menempatkan perekonomian nasional pada posisi rawan.
Fluktuasi harga energi global dan potensi krisis pasokan kerap menjadi ancaman yang tidak bisa diabaikan. Dalam kondisi seperti ini, transisi menuju energi bersih tidak lagi sekadar idealisme, melainkan kebutuhan strategis yang menentukan masa depan ekonomi, keamanan pasokan dan kelestarian lingkungan hidup Indonesia.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah merumuskan visi besar Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045 yang diuraikan dalam delapan misi utama, dikenal sebagai Asta Cita. Dari delapan misi tersebut, setidaknya tiga memiliki hubungan langsung dengan sektor energi. Asta Cita 1 menekankan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan. Asta Cita 3 mengusung kemandirian dan ketahanan nasional, termasuk pencapaian swasembada energi. Asta Cita 8 mengarahkan pada harmonisasi kehidupan manusia dengan lingkungan, alam dan budaya.
Ketiga misi ini sejalan dengan arah kebijakan ketahanan energi nasional yang menuntut diversifikasi sumber energi, peningkatan efisiensi, dan penguatan pasokan domestik untuk mengurangi ketergantungan impor. Pendekatan ini hanya bisa berhasil jika sektor industri berperan aktif memastikan bahwa energi yang digunakan berasal dari sumber bersih, terbarukan dan berkelanjutan.
Realisasi bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) nasional pada 2024 tercatat hanya 14,68%, jauh di bawah target awal 23% yang ditetapkan untuk tahun tersebut. Memasuki 2025, pemerintah merevisi target menjadi 17–20% guna menyesuaikan dengan kondisi di lapangan. Angka ini menunjukkan bahwa percepatan transisi energi masih menjadi pekerjaan besar, sehingga setiap kontribusi nyata dari sektor industri memiliki bobot strategis terhadap pencapaian target nasional.
Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit sebesar 69,5 GW, dengan 76% berasal dari EBT, termasuk 17,1 GW tenaga surya, 11,7 GW tenaga air, 5,2 GW panas bumi, 0,9 GW bioenergi, dan 0,5 GW nuklir, serta penyimpanan energi (storage) sebesar 10,3 GW.
Kombinasi ketiga misi ini menjadi fondasi strategis untuk mengarahkan industri nasional, terutama yang berintensitas energi tinggi, agar mampu memperkuat swasembada energi sekaligus menjaga keberlanjutan ekologi. Dalam konteks ini, sektor pertambangan nikel memiliki peran strategis yang tidak dapat diabaikan. Nikel merupakan bahan baku utama untuk baterai kendaraan listrik dan sistem penyimpanan energi, dua teknologi penting yang memungkinkan pengurangan ketergantungan terhadap pembangkit listrik berbahan bakar fosil.
Namun, produksi nikel juga sering menuai kritik. Industri ini dikenal memiliki konsumsi energi yang besar dan potensi dampak lingkungan yang signifikan, mulai dari pengelolaan tailing, konservasi lahan, hingga keterlibatan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, pendekatan operasional menjadi faktor penentu reputasi dan daya saing di pasar global yang semakin sadar lingkungan.
Salah satu contoh yang menonjol dalam penerapan energi bersih di sektor ini adalah PT Vale Indonesia Tbk. (PT Vale). Beroperasi di Sorowako, Luwu Timur-Sulawesi Selatan, sebuah kawasan yang menjadi jantung industri nikel Sulawesi, perusahaan ini sejak awal memilih untuk tidak menggunakan pembangkit listrik berbahan bakar fosil sebagai sumber energi utama. Tiga Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Larona, Balambano dan Karebbe, dengan total kapasitas terpasang sekitar 365 megawatt (MW) menjadi tulang punggung pasokan energi untuk seluruh operasi penambangan dan pemurnian nikel perusahaan. Keputusan ini diambil jauh sebelum konsep dekarbonisasi menjadi tren global, bahkan sebelum pemerintah menetapkan target penurunan emisi.
Pemanfaatan PLTA ini tidak hanya memastikan pasokan energi yang stabil bagi operasi perusahaan, tetapi juga secara langsung memperkuat pilar ketahanan energi nasional yang mencakup ketersediaan, keterjangkauan dan keberlanjutan. Dengan mengandalkan sumber daya air lokal, ketergantungan pada impor BBM fosil berkurang signifikan, membantu menjaga cadangan devisa dan mengurangi risiko pasokan di tengah gejolak pasar global.
“Energi bersih adalah fondasi operasional kami. Komitmen ini sudah kami jalankan sejak 5 dekade lalu, bukan karena tuntutan regulasi, tetapi karena keyakinan bahwa ini adalah cara yang benar,” tegas Bernardus Irmanto, Presiden Direktur PT Vale Indonesia, dalam sebuah kesempatan belum lama ini.
Langkah strategis tersebut diperkuat dengan inovasi bernama ROJALI (Hydropower Plant Supply Alternative Route Program for Auxiliary Grid), yang lahir dari kajian Life Cycle Assessment (LCA) pada 2022. Program ini dirancang untuk memastikan pasokan listrik dari PLTA tetap dapat mengalir ke jaringan auxiliary grid saat jaringan utama mengalami pemeliharaan. Sebelum ROJALI, kebutuhan ini dipenuhi oleh PLTD berbahan bakar HSD (High Speed Diesel). Hasilnya nyata, pada semester pertama 2023 saja, ROJALI berhasil menghemat 42,2 juta liter HSD dan menurunkan emisi hingga 77.978 ton CO₂e.
Keunggulan ini membuat operasional PT Vale memiliki jejak karbon yang relatif rendah dibandingkan banyak tambang nikel lainnya di Indonesia yang masih mengandalkan energi berbasis fosil. Pada 2024, tercatat 30,6% konsumsi energi PT Vale berasal dari sumber terbarukan. Selain PLTA, perusahaan juga melakukan diversifikasi energi melalui penggunaan biodiesel B35 sebesar 8,12% dan uji coba HVO (Hydrotreated Vegetable Oil) untuk menggantikan bahan bakar fosil. Target jangka panjangnya jelas, yakni pengurangan emisi CO₂ sebesar 33% pada 2030 dan pencapaian Net Zero Emission pada 2050.
Dampak positif ini tidak hanya dirasakan dalam operasional internal. Pemanfaatan PLTA di Sorowako juga berkontribusi menyuplai listrik bersih sebesar 10,7 MW untuk masyarakat Luwu Timur, memperkuat ketahanan energi sekaligus mengurangi beban jaringan listrik nasional.
Komitmen energi bersih tersebut berjalan seiring dengan perhatian pada aspek lingkungan dan sosial. PT Vale menjalankan program rehabilitasi lahan bekas tambang secara progresif, di mana pada 2024 saja, seluas 178,9 hektare telah direhabilitasi, menjadi bagian dari total 21.055 hektare yang direstorasi sejak awal operasi. Dalam program Matano Iniaku, rehabilitasi hutan di kawasan Danau Matano dipadukan dengan pengembangan ekowisata, pertanian polikultur dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Hingga akhir tahun lalu saja, perusahaan telah menanam lebih dari 5 juta pohon di dalam konsesi dan 12 juta pohon di luar konsesi, termasuk 80.000 pohon ebony endemik.
Upaya konservasi ini diperkuat dengan pengembangan Taman Keanekaragaman Hayati Sawerigading Wallacea serta fasilitas pembibitan modern berkapasitas 700.000 bibit per tahun. Seluruh kegiatan ini dijalankan dengan mengacu pada standar global, termasuk audit independen IRMA (Initiative for Responsible Mining Assurance) untuk memastikan praktik pertambangan yang bertanggung jawab.
Pengakuan pun datang dari pemerintah. Dalam kunjungan kerja ke Sorowako pada Juni 2025, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Raja Juli Antoni menyampaikan apresiasinya.
“Pembangunan tidak boleh berhenti. Namun, hutan juga tak boleh punah. PT Vale menunjukkan bahwa industri dapat bergerak maju tanpa mengorbankan kelestarian ekosistem.”
Pandangan serupa datang dari kalangan ekonom. Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA), menilai bahwa hilirisasi nikel, termasuk yang digarap PT Vale, memiliki prospek jangka panjang yang solid, asalkan didukung kepastian regulasi dan efisiensi operasional di seluruh rantai pasok.
"Kalau kita bicara Asta Cita, ini bukan sekadar target jangka panjang. Ini adalah navigasi strategis yang mengarahkan industri untuk tumbuh tanpa merusak, dan yang lebih penting lagi, memberi manfaat nyata bagi masyarakat,” tutup Hendra.
Hal ini memperlihatkan sinergi antara visi pemerintah dan praktik industri yang mengedepankan keberlanjutan. Model seperti yang diterapkan oleh PT Vale menunjukkan bahwa kemandirian energi tidak hanya ditentukan oleh jumlah pasokan, tetapi juga oleh sumber energi yang digunakan dan dampak ekologisnya.
Model ini sekaligus menegaskan bahwa kontribusi industri terhadap ketahanan energi nasional bukan hanya persoalan volume produksi, tetapi juga kualitas dan keberlanjutan sumber energi yang menopang operasinya.
Tantangan ke depan adalah bagaimana memperluas model ini ke lebih banyak pelaku industri di berbagai sektor. Pemerintah dapat memainkan peran melalui pemberian insentif untuk penggunaan energi terbarukan, penguatan pengawasan terhadap dampak lingkungan, serta integrasi praktik keberlanjutan dalam peta jalan dekarbonisasi nasional. Bagi dunia usaha, keberhasilan PT Vale menjadi bukti bahwa keberlanjutan dan daya saing dapat berjalan beriringan, sekaligus mendukung pencapaian Asta Cita dalam mewujudkan Indonesia yang mandiri energi, ramah lingkungan dan berdaya saing global.
Jika praktik seperti ini direplikasi secara luas, maka detak Asta Cita akan semakin kuat terasa dari jantung Sulawesi, mengalir ke seluruh penjuru negeri, mendorong Indonesia bukan hanya memenuhi target nasional, tetapi juga tampil sebagai salah satu pemain kunci dalam rantai pasok energi bersih dunia, bahkan penentu arah transisi energi di tingkat global.
Pada akhirnya, seluruh inisiatif keberlanjutan tersebut bukan hanya berkontribusi pada lingkungan dan masyarakat, tetapi juga menjadi fondasi ketahanan operasional perusahaan. Strategi berbasis energi bersih dan efisiensi ini memberikan dampak langsung terhadap stabilitas produksi, daya saing biaya dan ketahanan jangka panjang, bahkan di tengah fluktuasi harga nikel global.
Sejalan dengan komitmen tersebut, kinerja operasional dan keuangan PT Vale pada paruh pertama 2025 mencatatkan sejumlah capaian penting. Volume produksi nikel matte pada kuartal II/2025 meningkat 12% menjadi 18.557 metrik ton dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, sementara secara akumulasi semester I/2025 mencapai 35.584 metrik ton, naik 2% secara tahunan. Pengiriman juga tumbuh, dari 17.096 ton pada kuartal I menjadi 18.023 ton pada kuartal II/2025.
Berdasarkan laporan keuangan, pendapatan semester I/2025 tercatat US$426,73 juta atau Rp6,00 triliun, turun 10,86% secara tahunan dari US$478,75 juta pada semester I/2024, seiring penurunan harga nikel global. Beban pokok pendapatan berkurang 4,93% yoy menjadi US$396,58 juta. Laba bruto tertekan hingga 51,03% yoy menjadi US$30,15 juta, sementara laba usaha merosot 81,54% yoy menjadi US$9,02 juta.
Meski begitu, perseroan tetap membukukan EBITDA sehat sebesar US$40 juta pada kuartal II/2025, dengan laba bersih positif US$3,5 juta. Harga realisasi rata-rata nikel matte pada kuartal II/2025 mencapai US$12.091 per ton, naik dari US$11.932 per ton pada kuartal sebelumnya, didukung efisiensi produksi dan peningkatan volume pengiriman. Wakil Presiden Direktur dan Chief Operation and Infrastructure Officer, Abu Ashar, menyatakan bahwa target produksi 2025 dipatok di 71.234 ton, meningkat dari tahun lalu.
Dari sisi likuiditas, kas dan setara kas per Juni 2025 tercatat US$506,7 juta, sedikit turun dari kuartal sebelumnya, terutama akibat belanja modal sebesar US$96,4 juta pada kuartal II/2025 yang difokuskan untuk proyek pertumbuhan strategis dan penguatan infrastruktur energi bersih.