Bisnis.com, JAKARTA – Tiga provinsi di Pulau Jawa masih mendomisasi produksi padi nasional. Publikasi terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa total produksi ketiga provinsi yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur pada Jannuari-September 2025 diperkirakan mencapai 24,6 juta ton atau 50,2% dari total proyeksi sebesar 49 juta ton.
BPS mencatat bahwa Jawa Timur masih bertengger di peringkat pertama produsen gabah kering giling (GKG) sebesar 8,81 juta ton. Peringkat kedua ada Jawa Tengah dengan angka sebesar 8,05 juta ton. Sementara itu, Jawa Barat, daerah yang juga menjadi salah satu lumbung padi nasional mencapai 7,74 juta ton.
Menariknya, kendati menjadi produsen padi terbesar bahkan menyumbang lebih dari separuh produksi nasional, ketiga wilayah ini menjadi kawasan dengan penduduk miskin banyak banyak di Indonesia. Data BPS yang dipublikasikan Juli 2025 lalu menunjukkan bahwa, jumlah penduduk miskin di Jawa Timur mencapai 3,89 juta, Jawa Barat 3,66 juta, dan Jawa Tengah sebanyak 3,39 juta. Meskipun secara persentase bukan yang terbesar.
Data BPS juga memaparkan data lainnya, yang menunjukkan bahwa beras justru menjadi komponen utama pemicu kemiskinan penduduk di Indonesia, termasuk Jawa. Di perkotaan, data BPS secara nasional, beras menyumbang garis kemiskinan sebesar 21,6%. Sementara di pedesaan beras menyumbang sebesar 24,9%.
Dalam catatan Bisnis, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai titik terendah sepanjang sejarah, yakni 8,47% dari total populasi per Maret 2025. Meski patut diapresiasi, pakar menilai capaian itu tak mencerminkan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
Jumlah Penduduk Miskin
Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Jumat (25/7/2025), 8,47% penduduk miskin setara dengan 23,85 juta orang. Jumlah itu turun 0,21 juta orang dibandingkan kondisi September 2024, yang mana penduduk miskin sebanyak 8,57% atau setara 24,06 juta orang.
Baca Juga
Tak perlu waktu lama, para pejabat Istana Negara hingga Gedung Parlemen langsung ‘merayakan’ kesuksesan itu. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi misalnya, yang menyebut angka kemiskinan terendah sepanjang sejarah itu sebagai “sesuatu yang menggembirakan.”
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengaku tidak heran dengan rilis BPS. Menurutnya, penurunan angka kemiskinan memang tujuan dari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Hanya saja, Koordinator Bidang Kajian Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan FEB UGM Wisnu Setiadi Nugroho mengingatkan bahwa rilis penurunan angka kemiskinan perlu ditafsir secara hati-hati. Di balik angka positif itu, ada sejumlah indikator lain yang tampak mengkhawatirkan.
Wisnu menjelaskan bahwa rilis BPS pada pekan lalu sekadar menunjukkan bahwa semakin sedikit penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional absolut, yang dihitung berdasarkan pengeluaran minimum per kapita untuk kebutuhan dasar makanan dan non-makanan.
“Namun, penurunan angka kemiskinan ini tidak otomatis berarti kesejahteraan masyarakat meningkat secara menyeluruh,” tegas Wisnu kepada Bisnis, Senin (28/7/2025).
Dia mencontohkan beberapa tanda kerentanan yang patut menjadi perhatian. Misalnya masih pada rilis BPS yang sama, terungkap kemiskinan perkotaan justru meningkat seiring naiknya tingkat pengangguran di wilayah urban.
Di sisi lain data ketenagakerjaan yang sudah dirilis BPS terlebih dahulu menunjukkan bahwa sepanjang Februari 2024—Februari 2025, jumlah pengangguran bertambah 83.000 orang, sementara proporsi pekerja informal naik dari 59,17% menjadi 59,40%.
Wisnu menilai fakta-fakta statistik itu menunjukkan bahwa banyak rumah tangga yang masih menggantungkan hidup pada pekerjaan informal dan tidak stabil.