Bisnis.com, JAKARTA — Ahli hukum sekaligus Eks Pimpinan KPK termuda pada 2007-2011, Chandra Hamzah menilai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menimbulkan problematika, bahkan dapat menjerat penjual pecel lele di trotoar.
Perlu diketahui, pada dasarnya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor pokoknya berisi ketentuan yang menjerat perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara dan menguntungkan pihak tertentu.
Alumnus UI ini menyebut bila mendasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, maka penjual lele di trotoar juga dapat dikenakan sanksi tersebut. Ini karena penjual pecel lele termasuk “setiap orang” yang “melawan hukum” dengan berjualan di atas trotoar yang seharusnya digunakan pejalan kaki.
Kemudian, lanjutnya, penjual pecel lele juga bisa dikatakan mencari keuntungan atau “memperkaya diri” dengan berjualan di trotoar yang membuat fasilitas publik milik negara menjadi rusak, sehingga dianggap “merugikan keuangan negara”.
“Maka penjual pecel lele adalah bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana korupsi, ada perbuatan, memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara,” ujar Chandra di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, dikutip Jumat (20/6/2025).
Chandra menjelaskan seharusnya tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas atau bersifat ambigu, serta tidak boleh ditagsirkan secara analogi, sehingga tidak melanggar asas lex certa (harus jelas dan pasti) ataupun lex stricta (tegas dan terbatas).
Baca Juga
Dia melanjutkan, adanya frasa “setiap orang” pada Pasal 3 UU Tipikor dapat mengingkari esensi dari korupsi itu sendiri, karena tidak membedakan antara warga biasa dengan pejabat atau orang yang memiliki kekuasaan yang memungkinkan terjadinya korupsi.
“Kesimpulannya adalah Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tipikor kalau saya berpendapat untuk dihapuskan karena rumusannya melanggar asas lex certa, perbuatan apa yang dinyatakan sebagai korupsi,” ucapnya.
Selanjutnya, dia berpandangan Pasal 3 UU Tipikor harus direvisi dengan mengganti dan menyesuaikan dengan Article 19 UNCAC yang sudah dijadikan norma.
“[frasa] ‘Setiap Orang’ diganti dengan ‘Pegawai Negeri’ dan ‘Penyelenggara Negara’ karena itu memang ditujukan untuk Pegawai Negeri dan kemudian menghilangkan frasa ‘yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara’ sebagaimana rekomendasi UNCAC,” tutur Chandra.
Sebagai informasi, Perkara Nomor 142/PUU-XXII/2024 dimohonkan Mantan Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia (2016-2017) Syahril Japarin (Pemohon I), Mantan Pegawai PT Chevron Pacific Indonesia Kukuh Kertasafari (Pemohon II), serta Mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam (Pemohon III).
Para Pemohon memohon Mahkamah agar ada syarat bagi tersangka atau terdakwa yang dikenakan sanksi pidana/denda dalam ketentuan norma yang diuji tersebut.
Bunyi Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”
Bunyi Pasal 3 UU Tipikor yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”