Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ditolak Trump, PBB Wanti-wanti Pajak Minimum Global Terancam Gagal

UNCTAD menggarisbawahi perkembangan kebijakan terbaru terutama setelah terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden AS.
Presiden AS Donald Trump menunjukkan perintah eksekutif yang telah ditandatangani saat pengumuman tarif di Rose Garden, Gedung Putih, Washington, DC, AS, pada hari Rabu (2/4/2025). Trump memberlakukan tarif pada mitra dagang AS di seluruh dunia, serangan terbesarnya terhadap sistem ekonomi global yang telah lama dianggapnya tidak adil. Fotografer: Jim Lo Scalo / EPA / Bloomberg
Presiden AS Donald Trump menunjukkan perintah eksekutif yang telah ditandatangani saat pengumuman tarif di Rose Garden, Gedung Putih, Washington, DC, AS, pada hari Rabu (2/4/2025). Trump memberlakukan tarif pada mitra dagang AS di seluruh dunia, serangan terbesarnya terhadap sistem ekonomi global yang telah lama dianggapnya tidak adil. Fotografer: Jim Lo Scalo / EPA / Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA — Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mewanti-wanti implementasi pajak minimum global terancam gagal akibat penolakan dari Presiden AS Donald Trump.

Dalam laporan bertajuk World Investment Report 2025, Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan atau United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) mengungkapkan bahwa setidaknya 49 negara—sebagian besar merupakan negara maju di Eropa—telah mengadopsi model Pilar Dua OECD ke dalam peraturan perundang-undangannya.

Aturan ini, yang dikenal sebagai Global Anti-Base Erosion (GloBE), merupakan kerangka kerja perpajakan internasional yang dirancang untuk memastikan bahwa perusahaan multinasional dengan pendapatan tahunan di atas 750 juta Euro dikenai tarif pajak efektif minimum sebesar 15% atas keuntungan berlebih (excess profits) di setiap yurisdiksi tempat mereka beroperasi.

Hanya saja, UNCTAD menggarisbawahi perkembangan kebijakan terbaru terutama setelah terpilihnya kembali Donald Trump sebagai presiden AS mengancam implementasi pajak minimum global tersebut.

"Penarikan AS dari pembahasan Pilar Dua dan ancaman pemberlakuan tindakan balasan terhadap negara-negara yang menerapkan pajak minimum global terhadap perusahaan asal AS dapat mengubah arah reformasi perpajakan internasional yang sedang berlangsung," tulis UNCTAD dalam laporan yang terbit pada Kamis (19/6/2025).

Indonesia sendiri sudah menerapkan Pilar Dua OECD atau pajak minimum global 15% dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024. 

Dalam aturan tersebut, pajak minimum global diterapkan di Indonesia melalui tiga mekanisme utama, yaitu DMTT (domestic minimum top-up tax), IIR (income inclusion rule), dan UTPR (undertaxed payment rule).

DMTT dan IIR sudah mulai berlaku sejak 1 Januari 2025, sementara UTPR akan mulai diadopsi pada 1 Januari 2026.

Dengan aturan tersebut, diharapkan bisa menghilangkan praktik penggerusan basis pajak dan pengalihan laba ke negara-negara tax haven yang mengenakan tarif pajak sangat rendah atau bahkan tidak memungut pajak penghasilan korporasi (PPh Badan).

Penolakan Trump

Sementara itu, tak lama setelah dilantik menjadi presiden AS pada awal tahun ini, Trump langsung mengeluarkan memorandum yang menyatakan bahwa Negeri Paman Sam tidak akan mengikuti kesepakatan dari solusi 2 Pilar Pajak Global sehari setelah ditetapkan menjadi Presiden Amerika Serikat periode 2025—2029.

Padahal, pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah sepakat untuk menerapkan dua pilar pajak global itu bersama Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Dalam bagian pertama memorandum tersebut, Trump meminta menteri keuangan dan perwakilan tetap AS di OECD untuk menarik diri dari kesepakatan tersebut.

"Setiap komitmen yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya atas nama Amerika Serikat sehubungan dengan Kesepakatan Pajak Global tidak memiliki kekuatan atau pengaruh di Amerika Serikat tanpa adanya tindakan oleh Kongres yang mengadopsi ketentuan-ketentuan yang relevan dari Kesepakatan Pajak Global," ujar Trump seperti tercantum di laman resmi White House.

Menteri Keuangan dan Perwakilan Dagang Amerika Serikat atau United States Trade Representative (USTR) akan mengambil semua langkah tambahan yang diperlukan sesuai dengan kewenangannya untuk mengimplementasikan temuan-temuan dari memorandum ini.

Trump menilai bahwa kesepakatan pajak global OECD yang didukung oleh pemerintahan sebelumnya memungkinkan yurisdiksi lain memajaki penghasilan dari AS ekstrateritorial atas pendapatan Amerika.

Alhasil, kebijakan tersebut membatasi kemampuan AS untuk memberlakukan kebijakan pajak yang melayani kepentingan bisnis dan pekerja AS. Bagi Trump, memorandum itu juga menjadi momen dalam merebut kembali kedaulatan dan daya saing ekonomi AS. 

Adapun, untuk melindungi kepentingan bisnis dan pekerja AS dari tindakan pajak yang diskriminatif, Trump menginstruksikan menteri keuangan dan USTR menyelidiki kebijakan pajak di negara lain yang tidak mematuhi peraturan pajak dengan AS. 

Bahkan, Trump meminta penyelidikan terkait negara-negara yang akan memberlakukan pajak yang akan berdampak pada perusahaan-perusahaan AS. 

Untuk itu, Trump ingin menteri keuangannya untuk membuat daftar langkah yang mungkin diambil untuk melindungi perusahaan dan pekerja AS sebagai tanggapan atas ketidakpatuhan atau aturan pajak tersebut. 

"Menteri Keuangan akan menyampaikan temuan dan rekomendasi kepada Presiden, melalui Asisten Presiden untuk Kebijakan Ekonomi, dalam waktu 60 hari," tulisnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper