Bisnis.com, JAKARTA — Uni Eropa dan Inggris memberlakukan serangkaian sanksi baru terhadap Rusia sebagai bagian dari upaya menekan Presiden Vladimir Putin di tengah perang di Ukraina.
Mengutip Reuters, Rabu (21/5/2025), Uni Eropa (UE) resmi mengadopsi empat paket sanksi tambahan, termasuk paket ke-17 yang secara khusus menargetkan armada bayangan Rusia, serta pelanggaran terkait penggunaan senjata kimia, pelanggaran HAM, dan ancaman hibrida.
Seorang sumber diplomatik Eropa menyebutkan bahwa keempat paket ini mencakup lebih dari 130 individu dan entitas. Dalam paket ke-17, setidaknya 75 entitas baru dimasukkan dalam daftar sanksi, termasuk raksasa energi Rusia Surgutneftegaz, sebuah perusahaan asuransi maritim, dan empat perusahaan manajemen armada bayangan yang berbasis di Uni Emirat Arab, Turki, dan Hong Kong.
UE sebelumnya mempertimbangkan untuk menyanksi cabang Dubai dari Litasco—lengan dagang dari Lukoil, produsen minyak terbesar kedua Rusia. Namun, nama tersebut akhirnya dicoret menyusul keberatan dari Hongaria dan lemahnya dasar hukum. Meskipun demikian, perusahaan pelayaran afiliasi Litasco, Eiger Shipping DMCC, tetap masuk daftar.
Sebanyak 189 kapal tambahan, 183 di antaranya kapal tanker minyak, juga dikenai sanksi, sehingga total kapal dalam daftar mencapai 324 unit.
UE kini juga aktif berdialog dengan negara-negara tempat kapal-kapal ini terdaftar untuk menghentikan praktik "bendera kemudahan", di mana kapal Rusia didaftarkan di negara pihak ketiga seperti Sierra Leone, Gabon, Komoro, India, Azerbaijan, hingga negara kecil seperti San Marino.
Baca Juga
Paket sanksi tersebut juga memperketat kontrol atas ekspor barang-barang penggunaan ganda (dual-use goods) yang berpotensi digunakan dalam sektor militer Rusia, serta memasukkan perusahaan-perusahaan pendukung industri militer Rusia di China, Belarus, dan Israel ke dalam daftar hitam.
Sanksi dari Inggris
Secara bersamaan, pemerintah Inggris mengumumkan sanksi terhadap 100 entitas dan individu yang terkait erat dengan sektor militer, energi, dan keuangan Rusia. Sanksi ini muncul sebagai respons atas serangan drone besar-besaran Rusia terhadap kota-kota Ukraina selama akhir pekan lalu—serangan nirawak terbesar sejak invasi dimulai.
Pemerintah Inggris menyatakan bahwa sanksi baru menargetkan rantai pasokan sistem rudal Iskander, lembaga disinformasi Kremlin, dan entitas keuangan yang berperan dalam membantu Rusia menghindari sanksi internasional.
Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy mengatakan negaranya menyerukan kepada Presiden Putin untuk segera menerima gencatan senjata penuh tanpa prasyarat untuk membuka jalan menuju perdamaian yang adil dan abadi.
"Kami telah menegaskan bahwa menunda upaya perdamaian hanya akan melipatgandakan tekad kami untuk membantu Ukraina mempertahankan diri dan menggunakan sanksi kami untuk membatasi mesin perang Putin,” tegasnya.
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, bersama para pemimpin Eropa, juga mendesak Amerika Serikat untuk bergabung dalam upaya menjatuhkan sanksi yang lebih keras. Namun, panggilan telepon antara Presiden AS Donald Trump dan Putin pada Senin lalu berakhir tanpa kesepakatan mengenai gencatan senjata.
Dalam pernyataan resmi, kantor PM Inggris mengonfirmasi bahwa Starmer telah berbicara langsung dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengenai dampak dan urgensi dari sanksi baru. Keduanya sepakat pentingnya terus menekan Rusia selama invasi ilegal masih berlangsung.
Sanksi Inggris kali ini juga menargetkan semua tingkatan dari Social Design Agency—lembaga disinformasi Rusia yang sebelumnya dikenai sanksi pada 2024. Inggris juga memasukkan 46 lembaga keuangan lainnya, termasuk Bursa Mata Uang St. Petersburg dan lembaga penjamin simpanan nasional Rusia.
Selain itu, 18 kapal dari “armada bayangan” Rusia juga ditambahkan ke daftar hitam, termasuk individu yang berperan dalam pengoperasiannya, seperti warga negara Inggris yang membeli kapal dan dua kapten kapal tanker asal Rusia.
Inggris menegaskan pihaknya kini tengah menjajaki kerja sama dengan mitra internasional untuk menurunkan batas harga minyak Rusia yang saat ini ditetapkan sebesar US$60 per barel guna memperketat kontrol atas ekspor energi Rusia.