Bisnis.com, JAKARTA — Selandia Baru akan melarang media sosial untuk anak berusia di bawah 16 tahun, sebagai upaya melindungi anak dari risiko perundungan, konten berbahaya, hingga kecanduan gawai.
Dilansir dari Bloomberg, Perdana Menteri Selandia Baru Christopher Luxon menjelaskan bahwa usulan untuk melarang anak-anak menggunakan media sosial merupakan bagian dari program kerja pemerintah. Terdapat peluang program itu naik menjadi undang-undang.
Menteri Pendidikan Selandia Baru Erica Stanford akan memimpin proses penetapan aturan itu dan segera melapor kembali kepada kabinet dengan sejumlah pilihan kebijakan.
"Saya khawatir dengan bahaya yang dapat ditimbulkan media sosial bagi anak muda Selandia Baru dan saya yakin pembatasan akses untuk anak di bawah 16 tahun akan membantu melindungi anak-anak kita dari perundungan, konten yang berbahaya, dan kecanduan media sosial," ujar Luxon, dilansir dari Bloomberg pada Selasa (13/5/2025).
Menurutnya, pemerintah akan mengeksplorasi berbagai pilihan kebijakan dan implementasi, lalu menentukan pilihan yang ideal bersama kabinet.
Pekan Lalu, Partai Nasional Selandia Baru, sebagai partai terbesar dalam koalisi pemerintahan berisi tiga partai, mengajukan usulan dari para anggotanya agar pembatasan media sosial menjadi kebijakan resmi. Usulan itu harus melalui proses pemungutan suara (voting) untuk bisa dibawa ke parlemen.
Baca Juga
Setelah itu, mereka membutuhkan dukungan dari koalisi oposisi agar larangan media sosial bagi anak di bawah 16 tahun bisa menjadi undang-undang.
Selandia Baru berupaya menyamai langkah Australia, yang akhir tahun lalu mengesahkan undang-undang untuk melarang anak-anak di bawah 16 tahun membuat akun media sosial populer termasuk Facebook, Instagram, Snapchat, dan TikTok.
Inggris, Uni Eropa, Kanada, dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat juga sedang menjajaki masalah ini, kata Luxon.
Sebagai bagian dari pekerjaannya, Stanford akan mempertimbangkan bagaimana yurisdiksi lain ini menerapkan pembatasan dan apa yang dapat berhasil di Selandia Baru, tergantung pada persetujuan Kabinet.
Jika disetujui, pembatasan tersebut dapat menjadi undang-undang sebelum pemilihan umum (pemilu) 2026, berdasarkan pernyataan Stanford kepada Radio New Zealand.