Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Faisal Rachman

Kepala Riset Makroekonomi dan Pasar Finansial Bank Permata

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Dinamika ‘The Game of Chicken’ dalam Perang Dagang

AS menyatakan bahwa langkah yang diambil tersebut bertujuan untuk mereset tatanan perdagangan global yang dinilai penuh dengan praktik-praktik tidak adil
Paket-paket di pusat distribusi di Los Angeles./Bloomberg-Kyle Grillot
Paket-paket di pusat distribusi di Los Angeles./Bloomberg-Kyle Grillot

Bisnis.com, JAKARTA - Ketidakpastian global me­­­­ning­­­kat secara signifikan pada 2025, dipicu oleh makin intensnya serta meluasnya perang dagang. Aksi saling balas atau tit-for-tat terus berlanjut, terutama antara Amerika Serikat (AS) dan China, dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia.

Perkembangan kondisi ini mengancam stabilitas per­­­da­­gangan internasional dan berisiko memperlambat per­­­tumbuhan ekonomi dunia.

AS menyatakan bahwa langkah yang diambil tersebut bertujuan untuk mereset tatanan perdagangan global yang dinilai penuh dengan praktik-praktik tidak adil sehingga merugikan perekonomian domestiknya.

Di sisi lain, China memandang tindakan yang dilakukan oleh AS sebagai bentuk economic bullying dan menegaskan komitmennya untuk terus memberikan respons yang setimpal melalui berbagai langkah balasan.

Secara langsung, konflik dagang ini telah memberikan tekanan pada pasar keuangan global. Sikap investor yang cenderung menjadi risk-off telah memicu terjadinya global loss serta menyebabkan capital flight yang berujung pada depresiasi tajam berbagai mata uang di dunia, terutama mata uang negara berisiko seperti emerging market.

Ketegangan perang dagang antara AS dan China meningkat tajam sejak Februari 2025 dan berkembang menjadi aksi saling balas yang makin eskalatif. Dimulai dari ancaman tarif 10% oleh AS terhadap produk China, China merespons dengan tarif 10%—15% atas produk agrikultural AS. Kenaikan tarif berlanjut, termasuk tarif 25% AS atas baja dan aluminium, serta balasan China terhadap produk peternakan. Pada Maret 2025, AS menaikkan tarif produk China menjadi 20%, lalu memperluas cakupan kebijakan pada April 2025 dengan mengancam seluruh negara melalui reciprocal tariff.

China menjadi salah satu negara yang terkena dampak paling besar, dengan total tarif mencapai 54%, sehingga mengambil langkah balasan dengan menaikkan tarif hingga 34% untuk produk impor asal AS. Ketegangan terus meningkat saat kedua negara saling ancam dan menaikkan tarif hingga 125%, bahkan AS mengancam dengan tarif 245% untuk produk tertentu. Meski AS memutuskan untuk menunda kebijakan reciprocal tariff selama 90 hari bagi negara lain, China tetap dikecualikan, dan aksi saling balas tarif pun terus berlanjut.

Aksi saling balas tersebut dapat dijelaskan melalui konsep ‘The Game of Chicken’. Model ekonomi ini merupakan bentuk game theory yang menggambarkan situasi konflik di mana dua pihak dihadapkan pada pilihan untuk bernegosiasi atau saling balas menyerang, dengan risiko kerugian terbesar muncul apabila keduanya tetap tidak saling mengalah. Secara teoritis, pilihan untuk kedua pihak saling mengalah merupakan strategi yang paling rasional guna menghindari konsekuensi terburuk. Namun, dalam praktiknya, keputusan untuk tidak mengalah sering kali diambil karena didorong oleh faktor psikologis atau politik, dan bukan faktor ekonomi, sehingga berdampak pada kerugian kolektif yang signifikan.

Perang dagang yang tengah berlangsung antara AS dan China juga mencerminkan bahwa pasar perdagangan internasional sedang berada dalam proses pencarian titik keseimbangan barunya. Berdasarkan teori ini, terdapat tiga kemungkinan keseimbangan baru yang dapat terbentuk.

Pertama, jika salah satu negara memilih untuk mengalah sementara pihak lainnya tetap bersikukuh, maka negara yang mengalah akan mengalami kerugian yang signifikan karena harus menerima kenaikan tarif impor yang signifikan, sedangkan pihak yang tidak mengalah akan memperoleh keuntungan karena dianggap sebagai pihak yang ‘menang’. Kedua, apabila kedua negara bersedia untuk saling mengalah dan berhenti menaikkan tarif, masing-masing akan menanggung dampak negatif tetapi dalam tingkat yang moderat. Ketiga, jika kedua negara tidak bersedia mengalah dan terus saling balas dengan menaikkan tarif, maka situasi tersebut akan menghasilkan kerugian yang sangat besar bagi kedua belah pihak.

Arah perang dagang ke depan akan sangat ditentukan oleh strategi yang diambil oleh AS dan China. Pada dasarnya, masing-masing pihak menginginkan pihak lainnya untuk terlebih dahulu ‘menyerah’. Namun, kekhawatiran akan stigma sebagai pihak yang ‘kalah’ mendorong kedua belah pihak untuk tidak mau mengalah. Dalam praktiknya, strategi yang diambil oleh masing-masing negara akan sangat bergantung pada bagaimana pihak lainnya menetapkan arah strategi ke depan. Kondisi ini menciptakan keseimbangan yang bersifat probabilistik, yang mencerminkan tingginya tingkat ketidakpastian dalam dinamika hubungan dagang antara kedua negara.

Lebih lanjut, ketiga keseimbangan tersebut menggambarkan dinamika strategis yang kompleks, di mana keputusan masing-masing pihak tidak semata-mata ditentukan oleh perhitungan rasional, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor psikologis pengambil keputusan, posisi geopolitik, serta persepsi terhadap kekuatan dan daya tawar pihak lawan. Dengan kata lain, dinamika yang sedang berlangsung, dan kemungkinan besar akan terus berlanjut, mencerminkan ketegangan rasionalitas, yakni antara keinginan untuk menghindari posisi inferior dengan risiko kerugian ekonomi yang besar.

Dalam konteks perang dagang ini, strategi yang dipilih oleh kedua negara tidak hanya akan memengaruhi hubungan bilateral mereka, tetapi juga membawa implikasi luas bagi kestabilan dan pertumbuhan ekonomi dunia. Kompleksitas situasi ini menjadi sangat tinggi mengingat AS dan China merupakan dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia, yang didorong oleh agenda strategis untuk memiliki dominasi geopolitik dan menjadi negara adidaya.

Oleh karena itu, perang dagang yang terus berlangsung antara AS dan China akan sulit untuk menjadi zero-sum game, melainkan berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi kedua belah pihak. Dampak negatif ini juga tidak akan terbatas hanya pada kedua negara tersebut, tetapi juga dapat meluas dan menekan perekonomian global secara keseluruhan.

IMF, pada laporan World Economic Outlook (WEO) edisi April 2025, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia akan cenderung melambat pada 2025 dan 2026 akibat perang dagang. Namun, derajat perlambatan akan sangat bergantung pada skenario terkait strategi AS dan China.

Jika AS mengenakan kenaikan tarif impor hanya kepada beberapa negara, seperti Kanada, Meksiko, dan China, serta beberapa produk saja, seperti baja dan aluminium, IMF melihat pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat dari 3,3% pada 2024 menjadi masing-masing 3,2% pada 2025 dan 2026, atau revisi 0,1 ppt ke bawah dari proyeksi sebelumnya pada WEO edisi Januari 2025. Namun, jika AS mengambil langkah untuk mengimplementasikan reciprocal tariff ke banyak negara, seperti yang diumumkan pada 2 April 2025, pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksikan akan melambat menjadi 2,8% pada 2025 dan 3,0% pada 2026.

Yang menarik adalah ketika AS mengumumkan penundaan implementasi kebijakan reciprocal tariff selama 90 hari tetapi tetap melanjutkan tit-for-tat dengan China, IMF justru melihat ekonomi dunia akan tumbuh lebih lambat, yakni 2,8% pada 2025 dan 2,9% pada 2026. Hal tersebut terjadi karena dampak positif dari penundaan pada banyak negara akan terimbangi oleh melemah signifikannya pertumbuhan ekonomi AS dan China yang dampaknya akan menyebar ke banyak negara melalui rantai pasok global. Proyeksi tersebut sejalan dengan konsep ‘The Game of Chicken’ yang melihat bahwa jika aksi saling balas AS dan China terus berlanjut maka akan menghasilkan kerugian terbesar.

Dari perspektif Indonesia, respons pemerintah terhadap pemberlakuan reciprocal tariff sebesar 32% oleh AS dapat dikatakan cukup tepat, yakni dengan mengedepankan pendekatan diplomasi dan negosiasi dibandingkan langkah retaliasi. Di tengah eskalasi tensi dagang global, strategi ini mencerminkan sikap yang konstruktif dan berorientasi jangka panjang. IMF memperkirakan bahwa penerapan reciprocal tariff tersebut akan berdampak pada melemahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi masing-masing 4,7% pada 2025 dan 2026. Turun cukup signifikan mengingat proyeksi awal IMF untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah sebesar 5,1% baik untuk tahun 2025 maupun 2026.

Selain itu, perlu dilakukan penguatan dan perluasan kerja sama internasional, baik secara bilateral maupun regional, guna mendorong diversifikasi pasar tujuan ekspor serta memperbesar peran Indonesia dalam rantai pasok global. Upaya ini perlu disertai dengan sinkronisasi kebijakan reindustrialisasi dan penghiliran yang berfokus pada peningkatan nilai tambah produk, serta diversifikasi portofolio ekspor. Langkah-langkah tersebut menjadi makin relevan mengingat kecenderungan pasar global yang kini mengarah pada pendekatan yang semakin inward-looking. Dengan demikian, dalam menghadapi tantangan global yang kian kompleks dan penuh ketidakpastian, penting bagi Indonesia untuk terus membangun sebanyak mungkin kemitraan strategis.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Faisal Rachman
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper