Bisnis.com, JAKARTA — Penangkapan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan alias PN Jaksel seolah mempertegas sorotan dunia tentang kepastian hukum di Indonesia.
Kasus itu menunjukkan bahwa kepastian hukum masih menjadi barang yang langka. Sistem hukum di Indonesia, dipenuhi oleh oknum korup yang menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi.
Dalam kasus PN Jaksel, misalnya, hakim yang seharusnya berperan sebagai wakil tuhan untuk mengadili setiap perkara, kini kredibilitasnya dipertanyakan.
Kasus vonis bebas Ronald Tannur adalah contohnya. Vonis bebas yang dikeluarkan oleh tiga hakim PN Surabaya mulai dari Erintuah Damanik, Heru Hanindyo dan Mangapul itu sarat akan kontroversi.
Sebab, terdakwa Gregorius Ronald Tannur yang sudah terbukti melakukan pembunuhan terhadap Dini Sera Afrianti justru dibebaskan oleh majelis hakim.
Usut punya usut, ketiga hakim itu bermain api. Mereka ternyata diduga menerima aliran dana dari ibu Ronald Tannur agar bisa membebaskan anaknya.
Baca Juga
Total, dana yang dialirkan ke Erintuah Damanik Cs itu mencapai Rp4,6 miliar. Kini, mereka tengah menunggu di kursi pesakitan untuk diadili di PN Tipikor Jakarta Pusat.
Tak berhenti disitu, publik juga kembali dihebohkan dengan kasus suap yang menyeret hakim di PN Tipikor Jakarta Pusat yakni Djuyamto Cs.
Hakim Djuyamto, Ali Muhtarom, dan Agam Syarif Baharudin telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap vonis onstlag dalam perkara ekspor minyak goreng yang menjerat tiga grup korporasi.
Tiga grup korporasi itu adalah Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group. Total, aliran dana dalam kasus vonis lepas itu mencapai Rp60 miliar.
Modus yang Sama
Meskipun berbeda kasus. Proses pengambilan vonis dua perkara suap itu memiliki modus yang hampir sama.
Sebab, baik kasus suap minyak goreng maupun Ronald Tannur itu sama-sama melalui perangkat pengadilan negeri (PN).
Misalnya, dalam kasus Ronald Tannur, uang suap itu diberikan kepada mantan Ketua PN Surabaya Rudi Suparmono. Sebelum itu, kubu Ronald Tannur menghubungi eks Pejabat MA, Zarof Ricar untuk dihubungkan ke Rudi.
Adapun, peran Rudi sederhana, dia hanya menyiapkan tiga oknum Hakim PN Surabaya untuk menjadi hakim majelis di persidangan Ronald Tannur.
Singkatnya, tiga oknum hakim itu terpilih pada (5/3/2024). Majelis hakim perkara Ronald Tannur dipimpin oleh Erintuah Damanik. Duduk sebagai Hakim Anggota yaitu Heru Hanindyo dan Mangapul.
Keran dana dugaan suap itu mulai dialirkan pada (1/4/2024). Bertempat di toko donat, Lisa menyerahkan amplop berisi SGD 140.000 dengan pecahan dolar ke Erintuah.
Selang dua Minggu, Erintuah membagi uang tersebut kepada Mangapul dan Heru Hanindyo dengan memperoleh masing-masing SGD 36.000. Sementara, Erin menerima SGD 38.000.
Tak lupa, Rudi Suparmono mendapatkan bagian sebesar SGD 20.000 dan panitera pengganti berinisial S memiliki jatah SGD 10.000. Selain itu, Rudi juga diduga menerima uang dari Lisa Rachmat sebesar SGD 43.000.
Alhasil, total jatah Rudi Suparmono dalam kepengurusan perkara itu sebesar SGD 63.000 atau setara dengan Rp750 juta.
Di samping itu, kasus suap perkara minyak goreng juga diduga dilakukan oleh makelar dari PN Jakarta Selatan, yakni Muhammad Arif Nuryanta.
Arif merupakan Ketua PN Jakarta Selatan. Dia diduga merupakan penerima uang suap dari pihak terdakwa korporasi sebesar Rp60 miliar.
Selain itu, Arif juga yang mengatur struktur majelis hakim yang akan memutus perkara tersebut. Hasilnya, Djuyamto Cs terpilih sebagai majelis hakim.
Adapun, uang itu disediakan oleh Kepala Legal Wilmar Group Muhammad Syafei, penyerahannya dilakukan melalui pengacara Ariyanto dan Panitera PN Jakut, Wahyu Gunawan.
Sejatinya, Syafei mulanya menyiapkan Rp20 miliar untuk meminta para "wakil tuhan" itu bisa memberikan vonis lepas terhadap tiga terdakwa group korporasi, mulai dari Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas.
Namun, Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta meminta uang itu digandakan menjadi Rp60 miliar. Singkatnya, permintaan itu disanggupi Syafei dan vonis lepas diketok oleh Djuyamto Cs.
Total, Djuyamto, Agam dan Ali diduga telah menerima uang suap sebesar Rp22,5 miliar agar bisa memutus vonis lepas kasus ekspor minyak goreng korporasi.