Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Luar Negeri Sugiono menanggapi pertanyaan publik terkait kemungkinan keanggotaan Indonesia dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sebagai jalan untuk mendapatkan keringanan tarif dari Amerika Serikat di bawah kebijakan Presiden AS Donald Trump.
Saat ditemui Bisnis secara terpisah di agenda Sarasehan Ekonomi di Menara Mandiri, Sugiono menepis anggapan bahwa status keanggotaan OECD akan serta-merta mempengaruhi perlakuan tarif dari AS.
"Saya tidak melihat ya, keanggotaan OECD itu berkaitan langsung dengan pengurangan tarif, karena teman-temannya Amerika sendiri, sekutu-sekutunya, juga kena tarif," ujar Sugiono Kepada Bisnis, Selasa (8/4/2025).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa Presiden Prabowo sendiri yang akan menyampaikan sikap resmi pemerintah terkait kebijakan tarif impor yang diberlakukan Presiden Trump salah satunya ke Indonesia sebesar 32%.
“Yang akan menyampaikan bapak Presiden langsung. Bicara mengenai respons terhadap perekonomian termasuk tarif," ujarnya kepada wartawan saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (7/4/2025).
Sekadar informasi, pemerintah Indonesia memiliki tenggat hingga 9 April untuk menyampaikan respons resmi atas pemberlakuan tarif impor oleh pemerintah AS tersebut.
Baca Juga
AS sendiri akan mulai menerapkan tarif impor minimum sebesar 10% untuk seluruh negara, serta tarif lebih tinggi terhadap negara-negara yang dianggap menghambat akses perdagangan AS.
Nantinya, tiga menteri Kabinet Merah Putih pemerintahan Presiden Prabowo Subianto akan terbang ke Amerika Serikat untuk menegosiasikan kebijakan tarif timbal balik yang diterapkan Presiden AS Donald Trump.
Tiga menteri tersebut yaitu Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Luar Negeri (Menlu) Sugiono, dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati.
Untuk diketahui, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan dengan AS dalam lima tahun terakhir dengan fluktuasi yang terus meningkat apabila melihat dari nilai surplus perdagangan setiap tahunnya.
Pada 2019 surplus neraca perdagangan dengan AS mencapai US$8,5 miliar yang bertumbuh pada 2020 menjadi US$10,04 miliar. Kemudian, pada 2021 mencapai US$14,52 miliar dan meningkat pada 2022 mencapai US$16,56 miliar. Lalu, pada 2023 mencapai US$11,97 miliar dan pada 2024 tembus di angka US$16,84 miliar.