Bisnis.com, JAKARTA – Lebaran, momen tahunan yang identik dengan mudik, kembali menyisakan ironi di tengah gegap gempita tradisi pulang kampung. Sayangnya, tahun ini, tren jumlah pemudik diprediksi mengalami penurunan.
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencatat arus mudik Lebaran 2025 dimulai pada 21 Maret 2025 hingga 11 April 2025. Puncak arus mudik pun terjadi pada 28 Maret 2025, sedangkan puncak arus balik diprediksi jatuh pada esok hari atau 6 April 2025.
Pada puncak arus mudik atau H-3 Idulfitri, pergerakan masyarakat harian di sejumlah moda transportasi sempat mencapai level tertingginya selama masa angkutan Lebaran 2025. Pergerakan tertinggi berada di moda angkutan udara atau pesawat yang mencapai 303.468 penumpang.
Kemudian, penumpang angkutan penyeberangan tercatat menyentuh level 297.342 penumpang dan kereta api sebanyak 247.611 penumpang. Adapun angkutan laut sekitar 115.993 penumpang.
Perbedaan hanya ada pada angkutan bus di mana pergerakan tertinggi jatuh pada H-4 Idulfitri atau 27 Maret 2025 sebesar 300.793 orang.
Adapun sampai dengan H+1 Idulfitri atau 1 April 2025, jumlah penumpang angkutan umum secara akumulasi tercatat turun apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun ini, jumlah penumpang angkutan umum secara akumulasi sejak 21 Maret—1 April 2025 baik kereta api, udara, laut, penyeberangan dan bus sebesar 12,1 juta penumpang.
Baca Juga
Jumlah itu turun dari akumulasi 2024 yakni 12,5 juta penumpang atau terjadi penurunan sebesar 3,57%. Penurunan utamanya terjadi pada moda angkutan laut, penyeberangan dan bus. Moda kereta api dan udara tercatat masih naik dari periode 2024.
Berbeda dengan moda angkutan umum, jumlah pemudik dengan moda angkutan pribadi pada 2025 masih tercatat naik dari 2024. Berdasarkan data yang dihimpun posko Angkutan Lebaran Kemenhub, jumlah penumpang angkutan pribadi dari 21 Maret hingga 1 April 2025 tercatat sebanyak 47,1 juta orang atau naik dari tahun sebelumnya 44,1 juta. Kenaikan itu sebesar 6,85%.
Penurunan jumlah pemudik sebelumnya telah terlihat dari survei Badan Kebijakan Transportasi (BKT) Kemenhub bersama dengan Badan Litbang Kompas. Pada Idulfitri 2025, potensi pergerakan diprediksi sebanyak 146,48 juta jiwa. Angka prediksi itu turun dari angka prediksi Lebaran 2024 yang mencapai 193 juta pemudik. Bahkan, angka realisasinya jauh lebih tinggi yakni mencapai sekitar 242 juta orang.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut bahwa penurunan pendapatan menjadi penyebab utama sepinya pergerakan mudik.
“Sekarang ini, pendapatan sedang turun, terutama di pedagang kaki lima, sektor informal, dan UMKM,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (6/4/2025).
Bagi kelompok ini, kata Bhima, omzet yang merosot berarti lebaran tanpa mudik adalah keputusan rasional. Namun, bukan hanya sektor informal. Kalangan pekerja formal pun kini lebih berhati-hati.
Meski masih menerima Tunjangan Hari Raya (THR), banyak yang memilih menyimpan dana tersebut sebagai cadangan darurat pasca-Lebaran.
“Kalau setelah lebaran kena PHK bagaimana? Banyak yang akhirnya menunda mudik,” lanjut Bhima.
Bhima menjelaskan bahwa transportasi menjadi sektor yang paling terdampak. Tiket pesawat, bus, kereta, hingga kapal laut biasanya melonjak karena permintaan tinggi saat mudik. Penurunan jumlah pemudik artinya lesunya pemasukan dari sektor ini.
“Begitu juga sektor perhotelan, makanan-minuman, hingga industri oleh-oleh yang omzetnya saat Lebaran bisa menutup biaya operasional sepanjang tahun,” imbuhnya.
Menurutnya, ketika mudik sepi, banyak pengusaha di daerah yang “gigit jari”. Tenaga kerja di sektor ini pun ikut menanggung dampak. Bagi banyak daerah yang mengandalkan momentum Lebaran untuk mendorong pendapatan asli daerah, kondisi ini jelas memprihatinkan.
Oleh sebab itu, Bhima menilai bahwa solusinya ada pada kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada perlindungan daya beli masyarakat.
Bhima menambahkan bahwa Ramadan dan Lebaran merupakan periode konsumsi rumah tangga tertinggi dalam setahun. Jika momentum ini hilang, maka pertumbuhan ekonomi nasional pun terancam stagnan.
“Jangan ada kebijakan yang mendistorsi konsumsi. Diskon tarif listrik harus diperpanjang hingga akhir tahun. Bantuan sosial harus tepat sasaran dan diperkuat,” tegas Bhima.
Setali tiga uang, Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M Rizal Taufikurahman mencatat adanya penurunan signifikan jumlah pemudik pada Lebaran tahun ini yang selaras dengan kondisi ekonomi yang berat menjadi penyebab utama.
"Penurunan jumlah pemudik tahun ini tidak bisa dilepaskan dari melemahnya daya beli masyarakat. Situasi ekonomi yang sulit memaksa banyak orang berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk mudik," ujar Rizal.
Menurutnya, data terbaru menunjukkan bahwa penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri mengalami penurunan signifikan pada awal tahun. Hal ini mencerminkan lesunya konsumsi rumah tangga di tengah tekanan ekonomi yang berlangsung sejak awal 2025.
Tak hanya itu, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sejumlah sektor industri juga turut memperparah kondisi ekonomi masyarakat. Rizal menambahkan bahwa deflasi yang terjadi pada Januari dan Februari 2025 menjadi bukti nyata terjadinya penurunan daya beli.
"Fenomena frugal living atau gaya hidup hemat semakin meluas. Masyarakat cenderung menahan pengeluaran, lebih memilih menabung atau mengalokasikan dana ke kebutuhan yang dianggap lebih penting, seperti pendidikan anak atau kebutuhan pasca-Lebaran," jelasnya.
Lebih lanjut, dia juga mencatat bahwa perputaran uang selama periode Lebaran tahun ini diperkirakan akan menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Hal tersebut memperkuat indikasi bahwa konsumsi masyarakat semakin terkendala dan selektif.
Akibatnya, tradisi mudik yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Lebaran mulai tidak lagi menjadi prioritas bagi sebagian masyarakat.
“Meskipun mudik tetap berlangsung, skalanya tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya,” pungkas Rizal.
Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai penurunan jumlah pemudik pada Lebaran tahun ini lebih disebabkan oleh faktor penurunan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah, bukan semata karena sikap menahan konsumsi.
"Ini bukan hanya soal menahan belanja. Yang terjadi adalah kemampuan belanja masyarakat memang menurun karena dana yang tersedia berkurang," kata Faisal.
Faisal menjelaskan bahwa penurunan daya beli ini bisa ditelusuri dari menurunnya upah riil sejak 2022. Meskipun sempat tumbuh pada 2023, pertumbuhannya melambat, dan memasuki 2024, justru mengalami kontraksi di banyak sektor besar penyumbang lapangan kerja.
Menurutnya, meskipun tingkat inflasi secara agregat masih tergolong rendah, hal itu tidak serta-merta meningkatkan daya beli karena pendapatan masyarakat menurun lebih cepat dari laju inflasi. Hal ini berdampak langsung pada menipisnya tabungan rumah tangga.
"Ketika gaji tidak cukup, masyarakat terpaksa mengandalkan tabungan. Namun jika tabungan tidak mencukupi, pilihan berikutnya adalah berutang," ujarnya.
Dia menambahkan, pada momen menjelang Lebaran, banyak keluarga yang biasanya menggunakan Tunjangan Hari Raya (THR) untuk mudik, kini justru menggunakan dana tersebut untuk menutup utang atau berjaga-jaga menghadapi ketidakpastian ekonomi ke depan.
Kondisi ini paling terasa di kalangan menengah ke bawah—kelompok yang menjadi penyumbang terbesar konsumsi nasional sekaligus jumlah pemudik setiap tahun. Di sisi lain, kelompok masyarakat kelas atas dinilai masih memiliki daya beli kuat sehingga tetap melanjutkan tradisi mudik seperti biasa.
"Namun karena mayoritas pemudik berasal dari kelas menengah bawah, maka dampak ekonomi secara agregat tetap terlihat dari berkurangnya jumlah pemudik tahun ini," tambahnya.
Faisal juga mencatat adanya perlambatan pertumbuhan indeks penjualan ritel menjelang Lebaran, yang menjadi indikasi tambahan dari melambatnya konsumsi masyarakat. Indikator lainnya seperti indeks kepercayaan konsumen dan Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur juga menunjukkan tren perlambatan.
"Ini semua menggambarkan bahwa konsumsi domestik sebagai motor utama perekonomian sedang mengalami tekanan. Dan penurunan jumlah pemudik menjadi salah satu manifestasinya," pungkas Faisal.