Bisnis.com, JAKARTA - Anggota DPR RI mempertimbangkan penerapan kebijakan mitigasi risiko untuk mengurangi risiko produk tembakau di Indonesia.
Anggota DPR RI Komisi XI Puteri Komarudin menilai kebijakan tersebut lebih baik dibandingkan dengan mengeliminasi risiko secara total (zero tolerance). Kebijakan tersebut dinilai lebih pragmatis dan realistis untuk diterapkan di Indonesia.
"Kebijakan zero tolerance banyak diterapkan di negara maju, sedangkan kita masih negara menengah yang sangat bergantung dengan sumber daya alam. Kalau dibandingkan dengan negara maju, ini tidak fair," kata Puteri dalam sebuah diskusi publik, dikutip Selasa (11/2/2025).
Politisi dari Fraksi Partai Golkar tersebut menuturkan pemerintah sedang fokus memperbaiki sumber daya manusia sembari mencari titik temu dengan pemangku kepentingan untuk memitigasi risiko lingkungan, kesehatan, keuangan, dan sektor lainnya.
Dalam praktiknya, Puteri menegaskan bahwa Parlemen setiap tahunnya membahas manajemen risiko dengan Kementerian Keuangan dan Bappenas. Dengan demikian, kebijakan tersebut bisa disesuaikan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mengatasi permasalahan di masyarakat, termasuk melalui efesiensi anggaran yang ada.
Dia mencontohkan sektor tembakau kerap menghadapi tantangan baik secara industri, tenaga kerja, kesehatan, penerimaan negara, maupun regulasi. Oleh karena itu, pembuatan kebijakan berbasis mitigasi risiko perlu mencari keseimbangan yang mempertimbangkan risiko tersebut.
Baca Juga
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan (PMK), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Amich Alhumami, menjelaskan penerapan kebijakan berbasis pengurangan risiko dalam konteks pembangunan sebenarnya sudah tercantum secara ketat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Amich menerangkan dalam kaitannya dengan penerapan prinsip-prinsip good governance atau kebijakan pembangunan inklusif, maka upaya harm reduction (pengurangan bahaya) demi memitigasi potensi risiko yang terjadi perlu didukung.
"Bagaimana kita harus beralih dari brown economy ke pembangunan yang betul-betul berwawasan lingkungan dan kebudayaan sehingga bisa mencegah kerusakan," jelasnya.