Bisnis.com, JAKARTA – Gejolak politik di pemerintahan tengah melanda sejumlah negara di berbagai belahan dunia, dari Filipina, Prancis, hingga Korea Selatan.
Terbaru, Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol menghadapi rencana pemakzulan dari anggota parlemen dari partai oiposisinya pada Rabu (4/12/2024).
Dilansir dari BBC, upaya ini terjadi lantaran Yoon mengumumkan darurat militer dan membatalkan langkah tersebut beberapa jam kemudian atau selang 6 jam yang memicu krisis politik di ekonomi terbesar keempat di Asia.
Deklarasi darurat militer yang mengejutkan di sekutu utama Amerika Serikat (AS) pada Selasa (3/12/2024) malam menyebabkan kebuntuan dengan parlemen, yang menolak upaya Yoon untuk melarang aktivitas politik dan menyensor media, saat pasukan bersenjata memaksa masuk ke gedung Majelis Nasional di Seoul.
Oposisi utama Partai Demokrat (DP) menyerukan Yoon, yang telah menjabat sejak 2022, untuk mengundurkan diri atau menghadapi pemakzulan.
Enam partai oposisi Korea Selatan kemudian mengajukan rancangan undang-undang di parlemen untuk memakzulkan Yoon, dengan pemungutan suara ditetapkan pada hari Jumat atau Sabtu.
Baca Juga
"Kami tidak bisa mengabaikan darurat militer yang ilegal. Kami tidak bisa lagi membiarkan demokrasi runtuh,” ujar anggota parlemen DP Kim Yong-min, Rabu (4/12/2024).
Prancis
Kisrus di Prancis dimulai setelah Parlemen meloloskan mosi tidak percaya terhadap pemerintah pada Rabu (4/12/2024) waktu setempat. Hal ini membuat kekuatan ekonomi terbesar kedua di Uni Eropa itu semakin terpuruk dalam krisis yang mengancam kapasitasnya untuk membuat undang-undang dan mengendalikan defisit anggaran yang besar.
Mengutip Reuters pada Kamis (5/12/2024), anggota parlemen sayap kanan dan sayap kiri bersatu untuk mendukung mosi tidak percaya terhadap Perdana Menteri Michel Barnier, dengan mayoritas 331 suara mendukung mosi tersebut.
Mosi tidak percaya ini memberi tekanan terhadap Perdana Menteri Prancis Michel Barnier yang akhirnya memaksanya mengajukan pengunduran diri kepada Presiden Emmanuel Macron dan resmi turun dari jabatannya segera.
Barnier kini menjadi PM Prancis dengan masa jabatan terpendek dalam Republik Kelima Prancis yang dimulai pada tahun 1958.
Kaum kiri ekstrem dan sayap kanan ekstrem menghukum Barnier karena menggunakan kewenangan konstitusional khusus untuk mengadopsi sebagian anggaran yang tidak populer tanpa pemungutan suara akhir di parlemen, yang tidak didukung mayoritas. Rancangan anggaran tersebut berupaya menghemat 60 miliar euro atau US$63,07 miliar dalam upaya untuk mengecilkan defisit yang menganga.
"Realitas [defisit] ini tidak akan hilang begitu saja karena mosi tidak percaya," kata Barnier kepada anggota parlemen menjelang pemungutan suara, seraya menambahkan bahwa defisit anggaran akan kembali menghantui pemerintahan mana pun yang berkuasa berikutnya.
Tidak ada pemerintah Prancis yang kalah dalam mosi tidak percaya sejak Georges Pompidou pada tahun 1962. Macron mengawali krisis dengan mengadakan pemilihan umum dadakan pada Juni 2024, menghasilkan parlemen yang terpolarisasi.
Dengan presidennya yang semakin berkurang, Prancis kini berisiko mengakhiri tahun tanpa pemerintahan yang stabil atau anggaran 2025, meskipun konstitusi mengizinkan langkah-langkah khusus yang akan mencegah penutupan pemerintah seperti yang terjadi di AS.
Kekacauan politik di Prancis akan semakin melemahkan Uni Eropa yang sudah terhuyung-huyung akibat runtuhnya pemerintahan koalisi Jerman, dan beberapa minggu sebelum Presiden terpilih AS Donald Trump kembali ke Gedung Putih.
Filipina
Gonjang-ganjing politik di Filipina meningkat usai hubungan aliansi dua dinasti politik Filipina yakni Ferdinand 'Bongbong' Marcos Jr dengan putri Rodrigo Duterte, Sara Duterte, berada di titik nadir.
Ketegangan in imencapai puncaknya usai Duterte mengancam akan menghabisi nyawa Bongbong Marcos jika dia terbunuh.
Ancaman Sara Duterte memicu memanasnya tensi politik di negeri Jiran tersebut. Badan keamanan Filipina bahkan langsung meningkatkan protokol keselamatan setelah munculnya ancaman tersebut.
Malansir Reuters, Sara Duterte mengatakan pada konferensi pers bahwa dia telah berbicara dengan seorang pembunuh dan memerintahkannya untuk membunuh Bongbong Marcos, istrinya, dan juru bicara DPR Filipina jika dia terbunuh.
"Saya telah berbicara dengan seseorang. Saya berkata, jika saya terbunuh, bunuh saja BBM (Marcos), (ibu negara) Liza Araneta, dan (Pembicara) Martin Romualdez. Tidak bercanda. Tidak bercanda," kata Duterte.
"Saya berkata, jangan berhenti sampai Anda membunuh mereka, dan kemudian dia berkata ya."
Adapun Sara menanggapi pernyataan dari seorang komentator daring yang mengingatkannya supaya tetap berada di posisi aman. Apalagi, semalam Sara berada di wilayah musuh dengan kepala stafnya. Namun demikian, Duterte tidak menyebutkan adanya dugaan ancaman terhadap dirinya sendiri.