Bisnis.com, JAKARTA – Keputusan Presiden terpilih Donald Trump yang memilih Tulsi Gabbard sebagai Kepala Intelijen AS memicu kejutan besar di seluruh lembaga keamanan nasional. Pilihan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa komunitas intelijen akan semakin terpolitisasi.
Pasalnya, dilansir dari Reuters pada Jumat (15/11/2024) Gabbard adalah seorang mantan anggota kongres Demokrat yang tidak memiliki pengalaman intelijen mendalam dan dianggap lunak terhadap Rusia dan Suriah.
Pilihan Trump kemudian dinilai menunjukan kecenderungan lebih mengutamakan loyalitas pribadi dibanding kompetensi dalam pembentukan tim untuk kabinet di periode keduanya.
Menurut para mantan pejabat intelijen dan pakar independen, hal ini menjadi risiko. Diantaranya seperti penasihat utama yang dapat memberikan pandangan menyimpang kepada Presiden.
“[Dengan adanya loyalis Trump di jabatan-jabatan tinggi pemerintahan] ini bisa menjadi jalan untuk beberapa tindakan yang benar-benar dipertanyakan [oleh kepemimpinan komunitas intelijen],” terang mantan pejabat direktorat operasi CIA yang bekerja sebagai perwakilan utama badan intelijen tersebut di China, Randal Phillips.
Seorang pejabat intelijen yang tidak mau disebutkan namanya juga mengatakan bahwa pemilihan Gabbard meningkatkan kewaspadaan di kalangan perwira intelijen yang tidak yakin seberapa erat dia memegang teguh beberapa pandangan geopolitiknya, apakah dia mendapat informasi yang salah atau sekadar menggemakan slogan pengikut Trump "Make America Great Again".
Baca Juga
Ada Potensi Perlambatan Awal Pembagian Informasi Intelijen
Seorang sumber keamanan Barat mengatakan bahwa kemungkinan akan ada perlambatan awal dalam berbagi intelijen ketika Trump mulai menjabat pada Januari 2025 mendatang.
Adapun, hal tersebut bisa berdampak pada “Five Eyes” yakni aliansi intelijen yang melibatkan AS, Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.
Menurut sumber tersebut, kekhawatiran dari sekutu AS adalah bahwa penunjukan orang-orang yang dipilih Trump cenderung mengarah ke arah yang "tidak tepat,"
Tim transisi kepresidenan Trump belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar.
Sebagai informasi, Gabbard meninggalkan Partai Demokrat pada 2022. Dia telah menimbulkan kontroversi atas kritiknya terhadap dukungan Presiden Joe Biden terhadap Ukraina, yang telah mendorong beberapa kritikus menuduhnya menirukan propaganda Kremlin.
Dia juga menentang intervensi militer AS dalam perang saudara di Suriah di bawah mantan Presiden Barack Obama dan bertemu pada 2017 dengan Presiden Suriah yang didukung Moskow Bashar al-Assad, yang dengannya Washington memutuskan semua hubungan diplomatik pada tahun 2012.