Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia diyakini bakal memainkan peran aktif dalam percaturan politik internasional dengan bergabung ke dalam kelompok negara-negara Brics.
Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri mengatakan bahwa kebijakan internasional Indonesia itu adalah bebas dan aktif. Artinya, bebas dari berbagai tekanan atau juga tidak bergabung kepada salah satu blok.
“Kita juga harus aktif memberikan kontribusi kepada perdamaian dunia, kepada kestabilan dunia, yang juga diamanatkan sebenarnya di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,” ujarnya dalam siaran Broadcash di kanal YouTube Bisniscom.
Menurutnya, pada masa-masa yang akan datang, Indonesia tampak akan lebih aktif lagi memainkan peran di pentas internasional. Brics, tuturnya, menjadi salah satu wadah bagi Indonesia untuk memainkan peran aktif tersebut.
Untuk bergabung ke dalam Brics, menurutnya Indonesia harus melihat dari sisi kacamata geopolitik atau stratejik, serta tentunya dampak ekonominya pula. Secara strategis, lanjutnya, Indonesia akan mendapatkan posisi yang lebih baik, sedangkan secara ekonomi membawa banyak keuntungan saat bergabung dengan Brics.
“Brics itu juga walaupun awalnya adalah satu platform atau satu forum yang ditujukan untuk forum ekonomi, kelihatannya sekarang-sekarang ini sudah tidak terlalu lagi membicarakan mengenai permasalahan-permasalahan ekonom. Yang lebih banyak malah kita dengar sekarang-sekarang ini bahwa BRICS banyak membicarakan isu geopolitik ataupun isu security yang lebih banyak.”
Baca Juga
“Bahkan banyak negara-negara anggota Brics atau ada beberapa negara anggota yang memposisikan diri sebagai counter narrative daripada tatanan dunia yang dibawa saat ini,” bebernya.
Jadi, sambung Yose, meski ada dampak ekonomi dengan bergabung ke dalam Brics, Indonesia masih harus mendiskusikan lagi niatnya itu. Hal itu diperlukan untuk melihat secara jernih keuntungan bagi Indonesia.
Langkah tersebut, menurutnya, wajar karena kondisi wadah tersebut sudah berbeda misalnya dari 10 atau 15 tahun lalu ketika didirikan.
Perang Kepentingan di Brics
Dia menjelaskan, pada mulanya Bric merupakan satu kumpulan dari negara-negara yang dianggap pasar berkembang atau emerging markets dan bisa mempunyai kontribusi lebih tinggi lagi. Negara-negar tersebut juga mempunyai aspirasi yang lebih tinggi lagi atas perkumpulan itu sehingga mereka bisa menyuarakan aspirasinya.
“Permasalahannya adalah apakah negara-negara anggota BRICS ini memang mempunyai aspirasi yang sama. Sekarang kita lihat bahwa ternyata masing-masing itu juga berbeda-beda,” ungkapnya.
Rusia saat ini membawa aspirasi mengenai geopolitik yang nampak sekali dalam konferensi tingkat tinggi terakhir. Isu itu tidak terlalu diterima oleh negara-negara anggota lainnya. Di samping itu, di dalam Brics pun terdapat rivalitas misalnya antara China dan India yang kerap bersitegang soal wilayah perbatasan.
Di sisi lain, isu mengenai dedolarisasi menjadi agenda yang kuat bagi negara-negara Brics selama beberapa tahun belakangan. Bila nantinya memutuskan untuk bergabung dalam perkumpulan negara-negara itu, maka Indonesia bisa membawa agenda penggunaan mata uang lokal atau local currency settlement dalam transaksi perdagangan.
“Jadi local currency settlement ini menurut saya mempunyai potensi yang lebih besar dibandingkan dengan agenda dedolarisasi yang datangnya dari Brics. Jadi masing-masing negara punya agendanya sendiri-sendiri yang tentunya kalau dibawa ke Brics harapannya mendapat dukungan dari negara-negara lain dan agenda Brics kadang memang tidak didukung oleh sebanyak negara-negara seluruhnya ini,”katanya.