Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KPK Tindak Tambang Emas Ilegal di NTB Beromzet Rp1 Triliun, Diduga Hindari Pajak!

KPK memberikan pendampingan kepada Pemerintah Provinsi NTB untuk menertibkan tambang emas ilegal.
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Bisnis/Abdullah Azzam
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan pendampingan kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk menertibkan tambang emas ilegal yang diduga mencetak omzet Rp1,08 triliun per tahun. 

Pendampingan KPK kepada Pemprov dilakukan oleh Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V KPK. Lokasi tambang dimaksud berada di Dusun Lendek Bare, Sekotong, Lombok Barat. Pendampingan itu dilakukan guna mendorong optimalisasi pajak atau pendapatan asli daerah (PAD), yang termasuk dalam salah satu fokus dari Monitoring Center for Prevention (MCP). 

Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Korsup Wilayah V KPK Dian Patria menjelaskan, aktivitas tambang illegal yang berlokasi di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) ini diduga telah dimulai sejak 2021. Perkiraannya, omzet yang dihasilkan mencapai hingga Rp90 miliar per bulan atau sekitar Rp1,08 triliun per tahun. 

Angka ini, jelas Dian, berasal dari tiga stockpile atau tempat penyimpanan di satu titik tambang emas wilayah Sekotong, seluas lapangan bola. Hal itu disampaikan olehnya usai melakukan pendampingan lapangan dan tinjauan langsung ke lokasi tambang ilegal itu, Jumat (4/10/2024). 

 "Ini baru satu lokasi, dengan tiga stockpile. Dan kita tahu, mungkin di sebelahnya ada lagi. Belum lagi yang di Lantung, yang di Dompu, yang di Sumbawa Barat, berapa itu per bulannya? Bisa jadi sampai triliunan kerugian untuk negara," ujarnya, dikutip dari siaran pers.

Sementara itu, menyitir data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), Dian menyebut ada sekitar 26 titik tambang ilegal di wilayah Sekotong. Tambang tak berizin itu berada di atas 98,16 hektare tanah. 

Hal tersebut, katanya, menunjukkan besarnya potensi kerugian negara karena tambang ilegal tidak membayar pajak, royalti, iuran tetap, dan lainnya. 

Dian juga mengungkap adanya dugaan modus konspirasi antara pemilik izin usaha pertambangan (IUP) dan operator tambang ilegal. Kendati kawasan tersebut memiliki izin pertambangan resmi dari PT Indotan Lombok Barat Bangkit (ILBB), keberadaan tambang ilegal terus dibiarkan. 

Bahkan, ungkapnya, papan tanda IUP ILBB baru dipasang pada Agustus 2024 setelah bertahun-tahun tambang tersebut beroperasi.

"Kami melihat ada potensi modus operandi di sini, dimana pemegang izin tidak mengambil tindakan atas operasi tambang ilegal ini, mungkin dengan tujuan untuk menghindari kewajiban pembayaran pajak, royalti, dan kewajiban lainnya kepada negara," jelas Dian.

Selain itu, pihak Satgas KPK menemukan sebagian besar alat berat dan bahan kimia yang digunakan dalam tambang ilegal ini diimpor dari luar negeri. Salah satunya yaitu merkuri yang didatangkan dari China. Alat berat dan terpal khusus yang digunakan untuk proses penyiraman sianida juga berasal dari China sehingga disebut menambah kompleksitas permasalahan itu. 

Dian menambahkan, limbah merkuri dan sianida yang dihasilkan dari proses pengolahan emas itu berpotensi mencemari lingkungan sekitarnya, termasuk sumber air dan pantai yang berada di bawah kawasan tambang.

"Daerah di sekitar tambang ini sangat indah, memiliki potensi wisata yang besar. Namun, tambang ilegal ini merusaknya dengan merkuri dan sianida yang mereka buang sembarangan. Jika terus dibiarkan, dampaknya akan sangat merugikan masyarakat dan lingkungan setempat," ucapnya.

Sebagai tindak lanjutnya, KPK bersama Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara (Jabal Nusra) serta DLHK NTB memasang plang berukuran 2,5 x 1,6 meter, tepat pukul 08.33 WITA di lokasi tambang. 

Dalam plang tersebut, tertulis bahwa "Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pertambangan tanpa izin dalam bentuk apa pun di dalam kawasan hutan pelangan Sekotong". 

Berdasarkan pasal 89 jo Pasal 17 Ayat (1) Huruf B Undang-Undang (UU) No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, pelanggaran yang dilakukan bisa terancam pidana penjara paling lama 15 tahun serta denda paling banyak Rp10 miliar. 

Pada kesempatan yang sama, Pelaksana Harian (Plh) Kepala DLHK NTB Mursal mengungkapkan bahwa tambang emas ilegal di Sekotong merupakan yang terbesar di Pulau Lombok dan salah satu yang terbesar di NTB. Dia juga menyoroti dampak positif dari kehadiran KPK dalam pendampingan penegakan hukum.

Mursal berharap KPK semakin sering berkolaborasi dengan penegak hukum lokal, karena kehadiran KPK memberikan dukungan moral dalam menegakkan aturan di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HTP). 

"Kami merasa lebih percaya diri, karena kegiatan-kegiatan ilegal seperti ini seringkali ada yang mem-backup," tambahnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dany Saputra
Editor : Reni Lestari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper