Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pro Kontra Zaken Kabinet: Dulu Ditolak PKI, Muncul Lagi di Era Transisi Jokowi

Zaken kabinet versi Gerindra bukan ide baru, gagasan ini pernah dilontarkan PSI namun ditolak oleh PKI.
Headline Harian Rakjat edisi  12 Juli 1955./Koleksi Perpusnas
Headline Harian Rakjat edisi 12 Juli 1955./Koleksi Perpusnas

Bisnis.com, JAKARTA -- Pembahasan tentang komposisi kursi menteri kabinet Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, semakin intens terdengar terutama pasca DPR mengesahkan amandemen Undang-undang Kementerian Negara.

Amandemen UU tersebut, memberi keleluasaan kepada presiden terpilih, Prabowo Subianto, untuk menyusun komposisi kabinet yang akan membantunya selama 5 tahun ke depan. Aturan ini jelas berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang membatasi jumlah kementerian hanya sebanyak 34. Jumlah menteri kalau dalam beleid yang baru ada di tangan presiden, bisa tetap, berkurang atau bertambah, misalnya, menjadi 44.

Ada tudingan bahwa perubahan ‘klausul’ dalam revisi UU tersebut hanya digunakan untuk mengakomodasi kepentingan politik. Apalagi, Prabowo-Gibran diusung dan didukung oleh ‘super koalisi’. Hampir semua partai politik mendukung pasangan tersebut. Hanya PDIP, yang sejauh ini belum menyatakan dukungan.

Kendati demikian, kalau melihat dinamika politik terakhir, elite-elite partai banteng mulai sedikit ‘lunak’ dan mengindikasikan adanya pertemuan antara Prabowo dan Megawati. Pertemuan itu diharapkan bisa menjadi titik rekonsiliasi antara PDIP dan kubu Prabowo yang sempat memanas akibat Pilpres 2024. Meskipun elite PDIP, Said Abdullah, juga membantah jika pertemuan itu akan membahas jatah kursi menteri atau kemungkinan mereka masuk koalisi.

Menariknya, di tengah ramainya isu mengenai bagi-bagi jatah menteri, elite-elite Gerindra justru melontarkan ide tentang pembentukan zaken kabinet atau kabinet yang diisi oleh lebih banyak profesional dibandingkan dengan elite partai politik. Sekretaris Jenderal alias Sekjen Gerindra, Ahmad Muzani, adalah salah satu orang yang melontarkan gagasan itu.

PKI Vs Zaken Kabinet

Dalam catatan Bisnis, gagasan zaken kabinet sejatinya bukan ide baru dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Pada era demokrasi parlementer (1950-1959), usaha untuk membentuk zaken kabinet pernah digaungkan banyak pihak, termasuk partai politik. Eksistensi Kabinet Juanda yang memerintah pada tahun 1957-1959, adalah salah satu contoh kabinet zaken yang pernah ada pada waktu itu. 

Namun demikian, gagasan tentang kabinet zaken sejatinya pernah mengemuka saat terjadi krisis politik pada pertengahan tahun 1955. Krisis politik itu terjadi ketika Kabinet Ali Sastroamidjojo - Arifin atau Kabinet Ali Jilid 1 mengangkat Letnan Jenderal Bambang Utoyo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat alias KSAD. Terjadi pergolakan di internal AD. 

Pergolakan di internal Angkatan Darat itu kemudian merembet ke politik. Kubu oposisi, terutama Masyumi, mengambil kesempatan itu untuk tampil dalam perebutan kekuasaan kembali. Sekadar catatan pada dekade 1950-1959, Indonesia menerapkan sistem politik liberal. Era liberalisme politik itu dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai demokrasi parlementer. Presiden hanya sebatas simbol dan pemerintahan dijalankan oleh perdana menteri.

Salah satu ciri demokrasi parlementer di Indonesia adalah adanya ketidakstabilan politik yang memicu gonta-ganti kabinet. Kabinet Ali-Arifin didukung oleh dua poros politik besar yakni PNI dan NU. PKI juga menjadi partai yang mendukung pemerintahan Ali Sastroamidjodjo meskipun tidak masuk di dalam kabinet. Mereka memerintah sejak tahun 1953 hingga akhirnya jatuh pada 24 Juli 1955 akibat pergolakan politik tersebut.

Harian Rakjat (HR), surat kabar yang terafiliasi dengan PKI merekam secara eksplisit proses perdebatan tentang konsep kabinet pasca Pemilu 1955. Edisi 27 Juli 1955 atau 4 hari pasca jatuhnya kabinet Ali Sastroamidjojo, HR menerbitkan artikel yang menyatakan dukungannya terhadap konsep parlementarisme.

Ide ini bertentangan dengan sikap Masyumi yang lazimnya menginginkan kembalinya presidensialisme sama ketika M Hatta memimpin pemerintahan pada tahun 1948.  

Harian Rakjat 23 Juli 1955
Harian Rakjat 23 Juli 1955

Ada sebuah kutipan yang menarik dalam tulisan HR edisi tersebut, terutama ketika menukil artikel di Merdeka yang mengulas pemberitaan harian Abadi (media Masyumi), terkait tiga poros politik pendukung tiga konsep kabinet pasca Ali jilid 1. Pertama, Abadi menulis tentang kelompok yang mendukung kabinet presidensial yakni Masyumi. Kedua, zaken kabinet yang didukung oleh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ketiga, kabinet parlementer seperti yang telah diterapkan dalam sistem politik Indonesia pada waktu itu.

Soal zaken kabinet, Merdeka demikian dikutip oleh Harian Rakjat menulis: Pada hakekatnja bentuk kabinet seperti ini adalah suatu kegandjilan alam. Karena seorang anggota partai disuruh supaja tidak menghormati azas2 dan tudjuan… Lagipula soal tjakap, bidjaksana, dan djudjur adalah pertimbangan2 subjektifdan sulit sekali untuk dapat ditelan.”

Adapun PKI telah secara tegas mendukung pelaksanaan kabinet parlimentarisme. Sikap mereka tidak berubah dari pelaksanaan kabinet sesuai dengan konstitusi UUDS 1950. Mereka juga menganggap bahwa jalan parlementer lebih tepat diterapkan dibandingkan kembali ke era presidensialisme atau terancam dikuasai diktator militer.

Oleh karena itu, ketika terjadi krisis politik, PKI menolak ide-ide kabinet presidensialisme maupun ekstra parlementer seperti zaken kabinet karena akan bertentangan dengan konstitusi sementara.

“Pembentukan kabinet jang tidak bertanggungdjawab kepada parlemen, artinja bertentangan dengan undang2 dasar, hanja merupakan avonturisme belaka dan akan membawa Indonesia lebih djauh tenggelam dalam krisis ekonomi dan perpetjahan bangsa. Kalau dengan ada kontrol parlemen korupsi dan birokrasi bisa meradjalela, apalagi kalau kontrol itu sama sekali sudah tidak ada.”

Singkat kata, setelah perdebatan dan perang di media massa pada waktu itu, kubu parlementer lah yang menjadi pemenang. Hanya saja, PNI tersisih dari pemerintahan dan berlaku sebagai oposisi. Sebaliknya Masyumi tampil sebagai pemenang, mereka membentuk kabinet baru dengan nama Kabinet Burhanuddin Harahap.

Adapun isu tentang zaken kabinet kembali mencuat pada tahun 1957. Pada waktu itu, Sukarno mulai gerah dengan pertarungan antar partai politik. Alhasil, sebuah gagasan zaken kabinet muncul dengan nama Kabinet Djuanda. Kabinet ini merupakan tanda berakhirnya parlementarisme. Pasalnya salah satu hasil dari Kabinet Djuanda adalah kembalinya konstitusi kepada UUD 1945.

Kembalinya UUD 1945 menandai era emas perdebatan politik sekaligus mengawali dari rezim presidensialisme yang dikenal dengan konsep demokrasi terpimpinnya Sukarno. 

Simpang Siur Kabinet Prabowo

Setelah sekian puluh tahun berlalu, gagasan zaken kabinet kembali muncul pada proses pembentukan pemerintahan Prabowo-Gibran. Hanya saja, apakah gagasan ini akan terlaksana atau tidak, sampai sekarang masih simpang siur.

Sekjen Gerindra Ahmad Muzani mengungkapkan bahwa kabinet Zaken di era Prabowo-Gibran Rakabuming Raka, nantinya diisi oleh pihak-pihak ahli yang relevan dengan posisi menteri yang akan dipimpinnya.  

"Pak Prabowo ingin ini adalah sebuah pemerintahan zaken kabinet, di mana yang duduk [di kursi menteri] adalah orang-orang yang ahli di bidangnya meskipun yang bersangkutan berasal atau diusulkan dari parpol," ujarnya di kompleks Senayan, Senin (9/9/202).

Menurut Muzani, pihaknya atau Gerindra belum tentu akan menjadi partai paling gemuk yang mengantongi kursi menteri paling banyak, "Lagi dihitung, saya kira tidak juga [paling banyak kursi menteri dari Gerindra]," tambahnya.

Berbeda dengan Muzani, Ketua Harian DPP Gerindra Sufmi Dasco Ahmad justru mengungkapkan, kabinet Prabowo Subianto nantinya belum tentu diisi oleh mayoritas menteri profesional alias Zaken Kabinet.

Dasco menjelaskan, saat ini belum ada kepastian ihwal komposisi kabinet Prabowo untuk lima tahun ke depan. Oleh sebab itu, dia belum bisa memastikan ada berapa profesional yang akan diangkat menjadi menteri Prabowo nantinya.

"Ini susah ngomong karena lagi disimulasiin. Nanti gua bilang banyak profesional ternyata nanti enggak," ujar Dasco.

Kendati demikian, dia meyakini akan banyak profesional yang mengisi jabatan pembantu Pranowo di kabinet. Di samping itu, Dasco mengklaim menteri yang berasal dari partai politik akan tetap diperhatikan keahliannya agar sesuai dengan kementerian yang dipimpin.

Wakil ketua DPR ini juga tidak menampik, banyak ketua umum partai politik yang sudah menitipkan nama kader-kader terbaiknya untuk menjadi menteri. Oleh sebab itu, sambungnya, hingga kini Prabowo masih terus menyusun komposisi kabinetnya.

"Iya ada yang sudah mengusulkan dan sedang di-profiling, di simulasikan ya. Nanti pada waktunya akan disampaikan kembali kepada ketum yang bersangkutan," jelas Dasco.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper