Bisnis.com, JAKARTA - Empat aktivis demokrasi Myanmar dieksekusi mati oleh aparat militer sebagai penggunaan pertama praktik hukuman mati dalam beberapa dekade.
Keempat aktivis itu adalah mantan anggota parlemen Phyo Zeya Thaw, penulis dan aktivis Ko Jimmy, Hla Myo Aung dan Aung Thura Zawor yang dituduh melakukan "aksi teror" sebelum dieksekusi.
Eksekusi, yang pertama kali diumumkan oleh militer pada bulan Juni, mengundang kecaman internasional.
Junta militer menggulingkan pemerintah yang dipilih secara demokratis yang dipimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi pada Februari tahun 2021.
Kudeta itu memicu protes besar yang dengan cepat dihancurkan.
Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar, sebuah koalisi yang terdiri dari tokoh-tokoh pro-demokrasi, perwakilan kelompok etnis bersenjata dan anggota NLD, mengutuk pembunuhan itu dengan mengatakan mereka "sangat terkejut dan sedih".
Baca Juga
Mereka kemudian mendesak masyarakat internasional untuk "menghukum junta militer atas kekejaman dan pembunuhan itu".
Outlet berita negara, Global News Light of Myanmar, menulis keempat pria itu dieksekusi karena mereka "memberi arahan, melakukan pengaturan dan melakukan konspirasi untuk tindakan teror brutal dan tidak manusiawi" sebagaimana dikutip BBC.com, Senin (25/7/2022).
Mereka telah didakwa di bawah Undang-Undang Kontra Terorisme, tetapi tidak menyatakan kapan atau bagaimana mereka dieksekusi.
Ko Jimmy, 53, adalah seorang veteran Kelompok Mahasiswa Generasi ke-88, sebuah gerakan pro-demokrasi Burma yang dikenal karena aktivisme mereka melawan junta militer negara itu dalam pemberontakan mahasiswa 1988.
Dia menjalani penyiksaan di penjara karena keterlibatannya dalam gerakan pro-demokrasi sebelum dibebaskan pada tahun 2012.
Phyo Zeya Thaw adalah sekutu dekat Aung San Suu Kyi. Dia ditangkap pada Oktober tahun lalu setelah dituduh menyembunyikan senjata dan amunisi di sebuah apartemen di Yangon dan menjadi "penasihat" Pemerintah Persatuan Nasional.
Dua orang lainnya, Hla Myo Aung dan Aung Thura Zaw, dijatuhi hukuman mati karena membunuh seorang wanita yang diduga menjadi informan junta.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres menyebut keputusan militer untuk menghukum mati keempat aktivis itu sebagai "pelanggaran terang-terangan terhadap hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi".