Bisnis.com, JAKARTA - Perubahan iklim untuk pertama kalinya menjadi agenda utama dalam pembahasan di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pertemuan virtual Dewan Keamanan PBB yang digelar hari ini akan membahas kenaikan suhu bumi yang tidak terkendali dan dapat menyebabkan perang serta migrasi massal.
Negara-negara kaya akan mendapat tekanan untuk meningkatkan pendanaan guna mengatasi perubahan iklim selama diskusi tersebut.
Pertemuan virtual itu akan dipimpin Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan mencakup peserta seperti Presiden Prancis Emmanuel Macron dan utusan iklim utama Presiden AS Joe Biden, John Kerry. Peserta akan fokus pada risiko perubahan iklim.
Pakar militer selama bertahun-tahun telah memperingatkan bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan ketidakstabilan politik karena merusak tanaman, membanjiri desa dan kota, dan menyebabkan perebutan sumber daya alam.
Dengan Inggris memegang jabatan presiden bergilir Dewan Keamanan bulan ini, Johnson akan memperingatkan bahwa perubahan iklim merupakan ancaman besar bagi perdamaian dan keamanan global.
Baca Juga
“Tidak seperti banyak masalah yang dihadapi dewan, ini adalah salah satu yang kami tahu persis bagaimana mengatasinya,” kata Johnson, menurut kutipan dari sambutan yang telah disiapkan kantornya, seperti dilansir Bloomberg, Selasa (23/2/2021).
“Dengan membantu negara-negara yang rentan beradaptasi dengan perubahan iklim dan mengurangi emisi global menjadi nol, kita akan melindungi tidak hanya keanekaragaman hayati yang melimpah di planet kita, tetapi juga kemakmuran dan keamanannya," lanjutnya.
Sesi ini akan menyoroti risiko kegagalan pendanaan iklim oleh negara-negara maju untuk mencapai US$ 100 miliar setahun yang mereka janjikan kepada negara-negara miskin pada pembicaraan PBB satu dekade lalu.
Data terbaru menunjukkan pendanaan tersebut mencapai US$ 78,9 miliar pada 2018, melambat setelah mantan Presiden Donald Trump berjanji menarik AS keluar dari kesepakatan perubahan iklim Paris.
Sebagian besar dana yang ada digunakan untuk mengurangi emisi daripada membantu negara-negara yang rentan beradaptasi dengan efek terburuk perubahan iklim.
Menurut Alden Meyer, senior partner di lembaga think tank E3G, setelah bertahun-tahun memberikan kontribusi minimal, AS perlu membayar sekitar US$ 8 miliar untuk mengganti waktu yang hilang.
Sementara itu di Inggris, Johnson telah berjanji untuk membatasi pembiayaan iklim internasional, menghabiskan 11,6 miliar poundsterling (US$ 16,3 miliar) selama lima tahun ke depan.
Namun, Johnson menghadapi kritik dari anggota Partai Konservatif karena memotong keseluruhan anggaran bantuan luar negeri.
Bulan depan, pemerintah Inggris akan menjadi tuan rumah KTT terpisah yang berupaya meningkatkan pendanaan iklim dari negara-negara donor.
“Investasi dalam upaya untuk beradaptasi dengan efek perubahan iklim dapat membangun perdamaian dan kohesi sosial,” kata Kat Kramer, pemimpin kebijakan iklim di organisasi amal Christian Aid.