Badan Intelejen Negara menjelaskan ihwal perbedaan hasil tes PCR yang dilakukan pihaknya dengan pihak lain. Hal ini menyusul pemberitaan bahwa hasil tes Swab dari BIN disebut tidak akurat.
Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto menyebutkan berdasarkan penjelasan dari dewan analis strategis medical intelligence BIN, termasuk jaringan intelijen di WHO, fenomena hasil tes swab positif menjadi negatif bukan hal baru.
Setidaknya, papar Wawan, terdapat 3 faktor penyebab hasil tes swab positif menjadi negatif.
Pertama, rna/protein yang tersisa (jasad renik virus) sudah sangat sedikit bahkan mendekati hilang pada treshold sehingga tidak terdeteksi lagi. Apalagi subjek tanpa gejala klinis dan dites pada hari yang berbeda.
"OTG/asimptomatik yang mendekati sembuh berpotensi memiliki fenomena tersebut," kata Wawan dalam keterangan resmi, Minggu (27/9/2020).
Kedua, terjadi bias pre-analitik. Artinya, kata Wawan, pengambilan sampel dilakukan oleh 2 orang berbeda, dengan kualitas pelatihan berbeda, dan SOP berbeda pada laboratorium yang berbeda. Alhasil, sampel swab sel yang berisi virus Covid tidak terambil atau terkontaminasi.
Ketiga, sensitivitas reagen dapat berbeda terutama untuk pasien yang nilai CQ/CT- nya sudah mendekati 40.
Wawan mengatakan BIN menggunakan reagen perkin elmer (Amerika Serikat), A-star fortitude (Singapura), Wuhan easy diag (China).
Menurut Wawan, reagen ini lebih tinggi standar dan sensitivitasnya terhadap strain Covid-19 dibandingkan merk lain seperti genolution (Korea) dan liferiver (China) yang digunakan di beberapa rumah sakit.
"Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan uji swab antara lain adalah kondisi peralatan, waktu pengujian, kondisi pasien, dan kualitas test kit," ucapnya.
Wawan mengatakan, BIN menjamin kondisi peralatan, metode, dan test kit yang digunakan adalah gold standard dalam pengujian sampel Covid-19.
"Kasus false positive dan false negatif sendiri telah banyak dilaporkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat, China, dan Swedia," ucapnya.
Dia menjelaskan dalam melakukan proses uji spesimen, laboratorium, BIN menggunakan 2 jenis mesin Real Time PCR, yaitu jenis qiagen dari Jerman dan jenis thermo scientific dari Amerika Serikat.
Keduanya bersertifikat lab bsl-2 yang telah didesain mengikuti standar protokol laboratorium, telah dilakukan proses sertifikasi oleh lembaga sertifikasi internasional, world bio haztec (Singapura) serta melakukan kerja sama dengan LBM Eijkman untuk standar hasil tes.
Sehingga, kata Wawan, keduanya layak digunakan untuk analisis reverse transcriptase polymerase chain reaction (rt-pcr) yang sesuai standar.
"BIN menerapkan ambang batas standar hasil tes PCR yang lebih tinggi dibandingkan institusi/ lembaga lain yang tercermin dari nilai ct qpcr (ambang batas bawah 35, namun untuk mencegah OTG lolos screening maka BIN menaikkan menjadi 40), termasuk melakukan uji validitas melalui triangulasi 3 jenis gen yaitu rnp/ic, n dan orf1ab," papar Wawan.