Upaya membangun bangsa harus sejalan dengan perkembangan zaman. Di tengah euforia transaksi daring, zakat digital menjadi instrumen yang paling tepat untuk mengentaskan kemiskinan. Infrastrukturnya sudah siap. Hanya saja, kesadaran umat masih perlu ditingkatkan.
***
Kemiskinan masih menjadi momok kita bersama. Per Maret 2019, BPS menyebut rasio penduduk miskin Indonesia berada di angka 9,41 persen. Itu artinya, sekira 25,14 juta saudara kita masih dilanda kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya.
Di satu sisi, sajian data di atas patut kita syukuri. Dibanding rilis sebelumnya, rasio penduduk miskin Indonesia turun 0,25 persen. Dengan kata lain, sekitar 0,53 juta jiwa penduduk yang tercatat miskin pada September 2018,berhasil keluar dari jerat kemiskinan.
Namun pada sisi lain, kita tidak boleh berpuas diri. Sebab di kawasan Asia Tenggara, rasio penduduk miskin kita lebih buruk dibanding Thailand (7,20 persen) dan Malaysia (3,80 persen).Juga Singapura dan Brunei Darusalam yang nihil kemiskinan berkat keberhasilan program subsidi kepada warga berpenghasilan rendah.
Jika ditilik lebih dalam, sumber kemiskinan kita sebenarnya berasal dari perdesaan. Sekitar 60,26 persen (15,15 juta jiwa) penduduk miskin bermukim di desa.Maka dari itu, mengentaskan kemiskinan di desa harus menjadi prioritas dalam upaya membangun bangsa.
Banyak cara untuk memangkas kemiskinan di desa, salah satunya dengan zakat. Berbekal lebih dari 85 persen (263 juta jiwa) penduduk beragama Islam, potensi zakat di Indonesia sangatlah besar. Sebab menunaikan zakat adalah kewajiban bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat.
Semangat umat muslim Indonesia dalam berzakat sejatinya cukup tinggi. Sajian data milik Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), medio 2002—2017, menyebut dana Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS) yang berhasil dikumpulkan telah mencapai Rp6,2 triliun. Laju pertumbuhannya pun cukup tinggi, yakni mencapai 38,02 persen dalam setahun.
Tingginya gairahberzakat di Indonesia seakan mengafirmasi laporan Charities Aid Foundation (CAF) yang baru saja dirilis pada Oktober 2018 kemarin. Lembaga donasi internasional asal Inggris itu menempatkan Indonesia pada peringkat teratas World Giving Index untuk pertama kalinya dalam sejarah. Artinya, budaya memberi kita paling kental dibandingkan dengan 145 negara lainnya di dunia.
Hanya saja, kita masih perlu menjawab satu pertanyaan. Kalau semangat berzakat begitu tinggi, mengapa kemiskinan masih melanda neger ini? Bukankah zakat yang terkumpul dari para muzakki sudah optimal?Jawabannya:belum tentu. Sekarang, ayo kita hitung!
Di antara syarat wajib zakat ialah: muslim, dewasa, dan mencapai nisab (batas kepemilikan harta tertentu). Dari ketiga syarat ini, kita bisa memperkirakan berapa jumlah zakat ideal.
Dari sajian pembuka, kita tahu bahwa jumlah penduduk non-miskin Indonesia mencapai 242 juta jiwa. Namun ingat, tidak semua penduduk berusia dewasa. Maka dari itu, kalikan jumlah penduduk non-miskin dengan rasio penduduk dewasa (sekitar 63 persen). Niscaya kita bertemu angka 152 juta jiwa. Itulah jumlah penduduk dewasa non-miskin Indonesia.
Kemudian, anggaplah 85 persen-nya memeluk agama Islam. Dari sana, kita bisa memperkirakan jumlah penduduk muslim dewasa yang mencapai nisab, yaitu sekitar 129 juta jiwa. Terakhir, kalikan dengan pendapatan per kapita (Rp56 juta per tahun, BPS) dan 2,5 persen (rasio zakat penghasilan minimum).
Hasilnya pastimembuat kita tercengang: Rp181,44 triliun! Itulah jumlah zakat idealkita dalam setahun. Nyaris tiga kali lipat anggaran Kemenag pada 2019 (Rp65,2 triliun).Bila dibandingkan dengan realisasi ZIS milik Baznas (Rp6,2 triliun), rasionya baru mencapai 3,42 persen. Singkat kata, masih jauh panggang dari api.
Ingat, zakat itu perkara wajib. Kita belum memperhitungkanpotensi donasi sunah seperti sedekah, infak, atau wakaf. Kalau realisasi zakat saja sebegitu rendahnya, pantaslah dera kemiskinan tidak kunjung terselesaikan.
Digitalisasi Zakat
Cara terbaik menarik minat muzakkidalam berzakat ialah dengan mengikuti perkembangan zaman. Pada era kekinian, seruan berzakat seharusnya dilantangkan dan dilakukan melalui gawai digital. Untuk mempersingkat diksi, bolehlah kita sebut dengan istilah zakat digital.
Faktanya, transaksi daring memang semakin digemari masyarakat. Pada Juli 2019, Bank Indonesia (BI) mencatat nilai transaksi uang elektronik mencapai Rp12,9 triliun, atau meningkat 285 persen dalam setahun.
Pertumbuhan volume transaksinya bahkan jauh lebih mencengangkan. Sekira 476 juta transaksi berhasil dibukukan pada periode yang sama—naik lima kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Alhasil, pangsa uang elektronik pada transaksi pasar daring (e-commerce) kini menyentuh angka 23,5 persen.
Situasi ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) di Indonesia. Untuk menunaikan zakat, muzakki tidak perlu lagi keluar rumah. Cukup bermodal ponsel pintar, zakat bisa segera ditunaikan. Apalagi, survei Hootsuite pada 2019 menyebut 60 persen penduduk Indonesia telah menggunakan ponsel pintar.
Lagi pula, kini zakat tidak hanya bisa ditunaikan melalui mobile banking atau ATM saja. Sudah banyak masjid atau payment point yang menerima donasi uang elektronik berbasis Quick Response Code (QR Code). Cukup buka aplikasi pembayaran digital macam GO-PAY atau OVO, pindai (scan) QR Code-nya, masukkan jumlahnya; transaksi rampung dalam hitungan detik.
Apalagi, Bank Indonesia telah merilis aturan Quick Response Indonesian Standard (QRIS) alias standar nasional QR Code Pembayaran pada Agustus 2019 kemarin. Mulai 1 Januari 2020 nanti, satu QR Code bisa dipindai dari semua aplikasi pembayaran.
QR Code terbitan GO-PAY, misalnya, bisa dipindai dari aplikasi milik LinkAja, DANA, atau OVO. Alhasil, kita tidak perlu lagi membuka banyak-banyak akun dompet digital. Cukup satu akun untuk semua transaksi QR Code. Pada tataran pragmatis, kondisi ini memudahkan para muzakki menunaikan zakatnya secara nontunai.
Kampung Digital
Infrastruktur untuk menerima pembayaran zakat digital sudah tersedia. Namun, BAZ/LAZ tidak boleh terlena dan berdiam diri saja. Untuk memperluas basis muzakki dan meningkatkan perolehan zakat, inovasi pengelolaan zakat adalah kunci utama.
Distribusi zakat yang benar dan tepat sasaran menjadi kunci keberhasilan ikhtiar menumpas kemiskinan. Selain untuk memenuhi kebutuhan pokok, zakat harus disalurkan pula untuk kegiatan produktif. Secara syariat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membolehkan hal ini lewat fatwa yang dikeluarkan pada 2 Februari 1982.
Zakat produktif yang disalurkan juga harus mengikuti perkembangan zaman. Jikalau pengumpulan zakat dari para muzakki saja telah on-line, maka BAZ/LAZ pun harus membina para mustahiq agar melek teknologi. Supaya usaha yang dibentuk dari zakat bisa bernilai tambah, laku di pasaran, dan tidak ketinggalan zaman. Ingat, untuk menembus pasar milenial, maka mustahiq haruslah bermental digital.
Demi menuntaskan kemiskinan di desa, saya menyarankan agar BAZ/LAZ membentuk Kampung Digital. Caranya, dana zakat disalurkan dalam bentuk skema modal usaha yang sesuai dengan karakteristik desa. Misalnya industri batik di Pekalongan, pariwisata di Bali, kuliner di Yogyakarta, atau peternakan sapi di Malang.
Produk/jasa dari usaha yang dikembangkan selanjutnya dipasarkan dengan menggunakan media digital. Bukan lagi dengan cara-cara konvensional atau jadul. Melalui dana zakat, pemuda desa juga diberikan pelatihan teknologi digital seperti teknik fotografi, olah gambar, desain grafis, video kreatif, hingga pembuatan website. Mereka akan menjadi corong promosi Kampung Digital di desanya.
Sebagai contoh, pemasaran Sate Buntel (produk kuliner) di Desa Pucangsawit, Solo. Promosi dilakukan lewat Instagram dengan kualitas foto sekelas bidikan fotografer profesional. Ulasannya ditulis di blog, dan reportasenya ditayangkan di YouTube. Menarik, bukan?
Kampung Digital bukan hanya sebuah konsep untuk memberdayakan warga desa. Lebih dari itu, pembentukan Kampung Digital lewat zakat merupakan jalan keluar warga desa dari jerat kemiskinan dengan memanfaatkan teknologi.
Ingat, bukankah Nabi Muhammad SAW pernah memberi kapak kepada seorang sahabat untuk mencari rezekinya sendiri? Pada era milenial, kapak itu kini telah berubah bentuk menjadi gawai digital.
Andai ketiga upaya tadi dilakukan BAZ/LAZ, bolehlah kita optimis pada masa depan pengelolaan zakat di Indonesia. Pada akhirnya, ketepatan pengumpulan dan penyaluran zakat menjadi kunci sukses pengentasan kemiskinan dan pembangunan bangsa. Dengan demikian, status mustahiq akan berubah menjadi muzakki dalam tempo yang secepat-cepatnya.