Bisnis.com, JAKARTA – Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan yang kini masih dibahas di DPR dinilai perlu dibahas lebih mendalam lagi karena bukan hanya masalah tanah semata, melainkan menyangkut kepentingan banyak sektor sumber daya alam, seperti hutan, tambang, dan sebagainya.
“Mengingat pentingnya UU Pertanahan tersebut, maka sebaiknya pembahasan RUU Pertanahan dilanjutkan pada periode DPR selanjutnya. Saat ini pun pembahasan tidak efektif karena banyak anggota DPR yang tidak konsentrasi lagi,” ujar Guru Besar Institut Pertanian (IPB) Bogor Hariadi Kartodihardjo, ketika dimintai tanggapannya atas RUU Pertanahan, Selasa (9/7/2019).
Menurutnya, pembahasan RUU Pertanahan jangan tergesa-gesa dengan waktu yang terbatas, mengingat urgensi kepentingan UU tersebut.
“Menurut pandangan saya, lebih baik dimatangkan dan diselesaikan secara holistik di periode mendatang. UU ini nantinya harus mampu mengisi kekosongan atau kelemahan yang ada dalam UU Pokok Agraria tahun 1960,” tegasnya.
Mengenai pandangan keseluruhan atas RUU Pertanahan ini, Hariadi menilai RUU Pertanahan terkesan lebih membangun penguatan lingkup kewenangan kementerian yang membidangi pertanahan dan tata ruang daripada menjawab kebutuhan sebuah beleid menyeluruh yang mengatur tanah seperti diharapkan dalam naskah akademik rancangan ini, yakni meminimalkan ketidaksinkronan undang-undang sektoral terkait bidang pertanahan maupun menegaskan berbagai penafsiran yang telah menyimpang dari falsafah dan prinsip dasar Undang-Undang Pokok Agraria.
Lebih lanjut, Hariadi menjelaskan dalam dokumen naskah akademik RUU Pertanahan tanggal 17 Oktober 2017, yang dimaksud melengkapi dan menyempurnakan Undang-Undang Agraria adalah menguatkan isinya karena kemunculan aturan itu dulu tidak bisa melengkapi ketentuan pokok mengenai sumber daya alam lain selain tanah, sampai kemudian lahir undang-undang sektoral seperti Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Pertambangan, Undang-Undang Sumber Daya Air, yang semuanya berbasis lahan.
Akibat kondisi itu, Undang-Undang Pokok Agraria tidak bisa menjadi “payung” atau platform bagi pengelolaan sumber daya alam selain tanah. Bukan hanya itu, tumbuhnya berbagai undang-undang sektoral mengakibatkan Undang-Undang Pokok Agraria terdegradasi dan menyimpang dari tujuan awalnya sebagai lex generalis bagi landasan kerja semua sektor berbasis sumber daya alam.
“Dalam praktiknya, antara Undang-Undang Pokok Agraria dengan berbagai undang-undang sektoral itu punya, setidaknya, enam perbedaan semangat, falsafah maupun prinsip-prinsip yang berkaitan dengan orientasi, keberpihakan, pengelolaan dan implementasinya, perlindungan hak asasi manusia, pengaturan good governance, hubungan orang dan sumberdaya alam hingga hubungan antara negara dan sumberdaya alam. Hal itu menjadi penyebab undang-undang sektoral tidak sinkron, yang kemudian mendasari lahirnya Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,” papar Hariadi.