Bisnis.com, JAKARTA--Hoaks makin menjadi-jadi. Pemilu dan pilpres 2019 menyuburkannya? Bisa jadi. Tapi jelas, tak bisa pesta demokrasinya yang disalahkan!
Quick count dan real count memancing hoaks. Dari kubu sana. Dari kubu sini. Dari kubu mantan. Pokoknya dari mana-mana. Riuh sekali kebohongan ini.
Masih ingat? Beberapa waktu lalu ada imbauan dari sebuah otoritas yang diikuti banyak komunitas untuk menggalang kesadaran bebas hoaks.
Wujud kampanyenya melalui tagar #stophoax. Warganet diminta kesadarannya supaya tak menyebarkan (sharing) berita hoaks. Jitu?
Tumpul! Karena kita ternyata masih berada di ‘zona nyaman hoaks’ untuk berbagai tujuan, kepentingan, kesukaan, keisengan dan beraneka motif lainnya.
Lalu dimana kejujuran?
Saya jadi teringat Dan Ariely, pengajar mata kuliah Behavioral Economics di Massachussetts Institute of Technology (MIT), Cambridge, Amerika Serikat.
Sang pakar mengupas ‘sisi jujur dalam kebohongan’. Dia menyoal masalah serius dalam hidup: How honest people cheat.
Kalimat yang sangat provokatif. Mungkin juga ambigu. Bagaimana mungkin terselip kejujuran dalam berbohong? Bukankah bohong pertanda tidak jujur?
Ahli tingkah laku ekonomi tersebut berargumen, ada dua konsep dasar yang perlu dicermati dalam hal kebohongan. Pertama, pandangan bahwa orang pada dasarnya memang tidak jujur, sehingga dalam tingkah lakunya pun selalu tercermin demikian. Kedua, berseberangan dengan konsep pertama. Pada prinsipnya orang penuh dengan kejujuran.
Untuk mengukur kadar kebohongan orang-orang yang dikenal jujur tersebut, Airley melakukan penelitian di Harvard Business School, MIT, Princeton, UCLA, dan Yale.
Metoda eksperimennya cukup sederhana. Setiap partisipan diberi ‘hadiah’ 50 sen bila menjawab benar atas 20 soal matematika sederhana. Soal-soal tersebut harus diselesaikan dalam tempo lima menit.
Dalam kelompok yang diawasi (control groups), lembar jawaban diberi peringkat. Partisipan umumnya hanya menjawab empat soal yang benar.
Adapun di kelompok eksperimental (experimental groups), lembar jawaban justru disobek-sobek, sehingga partisipan mengetahui bahwa peneliti tidak mungkin mengetahui apakah peserta memberi jawaban benar atau salah.
Alhasil, partisipan bisa dengan mudah berbohong dan menerima uang lebih banyak dari yang seharusnya. Sederhananya, mereka mengklaim bisa menjawab benar dua soal lebih banyak dari yang ditentukan.
Nah, berdasarkan percobaan sederhana tersebut, persentase sebagian besar orang untuk berbohong adalah 50%. Dipandang dari sudut yang berbeda, partisipan hanya berbohong untuk dua dari 16 soal yang tidak dikerjakan. Dalam hal ini kesempatan berbohong mereka adalah 12,5%.
Persoalan akan bertambah menarik bila kita masuk lebih dalam lagi perihal kebohonan ini. Misalnya dengan melihat kejadian yang mempengaruhi derajat atau kadar kebohongan seseorang. Paling tidak ada tiga hal yang perlu disorot. Pertama, risiko akan ketahuan tidak mengubah tingkat ketidakjujuran. Fenomena ini terungkap ketika secara anonim diminta menyebutkan jumlah uang yang diterima. Toh tetap saja mereka berbohong.
Kedua, ketika partisipan diminta melakukan kontemplasi mengenai standar kejujuran mereka. Kebohongan langsung merosot drastis.
Ketiga, bila pembayaran dilakukan dengan memberi kesempatan bermain poker. Tingkat kebohongan melejit!
Suka atau tidak suka, inilah sikap asli manusia (human nature). Di dalam diri manusia terdapat benih-benih ketidakjujuran, apapun risiko yang akan menghadangnya.
Tapi manusia tetap punya sisi baik, sehingga niscaya tidak selalu terjerumus pada hal-hal yang berimplikasi lebih buruk.
Hal yang menarik, berbohong dipandang tidak selalu berakibat buruk. Berbeda dengan menipu, yang bisa dipastikan bertujuan jelek, bahkan jahat.
Seperti yang dikatakan Ariely, berbohong tidak dapat dilihat hanya dari selubung ’hitam’ dan ’putih’ saja. Ia punya nuansa tersendiri.
Namun hoaks medsos berdampak serius, bukan?