Bisnis.com, JAKARTA — Perbincangan terkait adanya ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) kembali menyeruak sebagai evaluasi pelaksanaan Pemilu Serentak 2019.
Terlebih, terkait banyaknya korban pelaksanaan pemilu dari kalangan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), yang diungkap KPU telah mencapai 144 orang wafat dan 883 sakit.
Sebab itulah, ada tiga pendapat yang dominan muncul terkait wacana perubahan sistem pemilu ini. Yang pertama, mengurangi presidential threshold, tetapi memisahkan kembali Pileg dan Pilpres untuk Pemilu selanjutnya.
Pendapat kedua, mengurangi presidential threshold tanpa mengubah sistem Pemilu Serentak atau masih sama seperti tahun ini, yaitu menggunakan perolehan suara Pileg sebelumnya. Ketiga, menghapus presidential threshold secara total.
Peneliti senior Indonesian Public Institute Karyono Wibowo lebih sepakat apabila presidential threshold sedikit dikurangi. Yang terpenting, Pileg dan Pilpres kembali dipisah.
Sebab, presidential threshold merupakan bukti dukungan parlemen yang kuat di sistem pemerintahan presidensial.
Menurutnya, hal ini mutlak diperlukan agar pemerintahan berjalan efektif. Asalkan, jangan lagi dibuat terlalu besar, apalagi bila diambil dari perolehan suara Pemilu sebelumnya.
"Kalau saya setuju dikurangi saja. Kalau dihapuskan atau nol persen, itu jadi ultra-liberal nanti," ujar Karyono kepada Bisnis, Kamis (25/4/2019).
"Sekitar 15 persen, itu kan masih bisa menghadirkan calon alternatif. Karena untuk memperkuat sistem presidensial juga. Pemerintah mau tidak mau kan juga butuh dukungan parlemen," tambahnya.
Berbeda dengan Karyono, Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD menyebut bahwa apabila pemilu serentak tetap diberlakukan, presidential threshold bisa sama dengan besar ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 3,5 persen pada 2014 atau 4 persen seperti pada Pemilu kali ini.
Menurut Mahfud, dalam Pemilu Serentak, semua partai politik yang telah lolos parlemen (dalam pemilu sebelumnya) sudah membuktikan kinerjanya, sehingga bisa saja secara mandiri mengajukan calon presiden.
"Itu tadi sudah saya lampirkan pendapat saya yang dikutip media 1 Agustus 2017, ketika ada judicial ke MK, bahwa saya usul Threshhold Pilpres itu 3,5 persen [seperti ambang batas parlemen Pemilu 2014], jangan 20 persen," tulis Mahfud dalam akun Twitter resminya @mohmahfudmd.
"Jauh sebelum itu saya juga banyak dikutip dan nulis bahwa yang rasional adalah 3,5 persen. Jadi sejak dulu pun saya tak pernah setuju threshold 20 persen untuk Pilpres," tambahnya.
Sementara itu, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendorong agar presidential threshold dihapus.
Tetapi, Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil menyebut Pemilu Serentak berikutnya diharapkan tidak sekaligus memilih banyak calon seperti Pemilu Serentak 2019 ini, agar beban kerja petugas KPPS lebih ringan.
Caranya, dengan menerapkan beberapa tingkatan Pemilu Serentak, yaitu memisahkan pemilu nasional (Presiden-Wakil Presiden bersama DPR RI) dan pemilu regional (Gubernur bersama DPRD Prov, Bupati/Wali Kota bersama DPRD kab/kota).
"Ambang batas pencalonan presiden baiknya memang dihilankan saja. Karena itu akan membuat keterbelahan politik lagi, dan membatasi kesempatan masyarakat mendapatkan calon presiden lebih banyak," jelasnya kepada Bisnis.
Pasca Pemilu Isu Presidential Threshold Kembali Mengemuka, Dikurangi atau Dihilangkan?
Perbincangan terkait adanya ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) kembali menyeruak sebagai evaluasi pelaksanaan Pemilu Serentak 2019.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Aziz Rahardyan
Editor : Rustam Agus
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
13 menit yang lalu