Bisnis.com, JAKARTA — Perdana Menteri Belanda Dick Schoof menghadapi mosi tidak percaya di parlemen yang dapat memaksa kabinetnya mundur dan memicu krisis politik terbesar dalam sejarah negara tersebut.
Melansir Bloomberg pada Kamis (28/8/2025), mosi tersebut diajukan pada Rabu (27/8/2025) waktu setempat oleh Stephan van Baarle, pimpinan Partai DENK yang dikenal membela hak-hak minoritas dan memiliki tiga kursi di majelis rendah parlemen. Langkah itu menjadi awal dari pertarungan panjang sehari penuh di Gedung Perwakilan Rakyat di Den Haag.
Pemerintahan Schoof saat ini berstatus sementara setelah koalisi empat partai yang berkuasa runtuh pada Juni lalu. Namun, belum ada prosedur jelas apabila mosi tidak percaya berhasil lolos. Dengan parlemen yang terfragmentasi hingga 15 partai, posisi dukungan terhadap kabinet masih belum pasti.
Krisis terbaru dipicu Jumat pekan lalu, ketika Partai New Social Contract (NSC) menarik diri dari koalisi karena perbedaan sikap terkait kebijakan lebih keras terhadap Israel atas pendudukan dan genosida terhadap warga Palestina. Kepergian Menteri Luar Negeri Caspar Veldkamp beserta koleganya membuat kabinet sementara hanya ditopang dua partai dengan minoritas lebih kecil, yakni 32 dari total 150 kursi.
“Kami menilai seluruh kabinet sebaiknya mundur. Mengabaikan genosida adalah perilaku yang tidak dapat diterima," ujar Van Baarle dalam pidatonya di parlemen.
Dalam debat panas yang berlangsung lebih dari empat jam, Schoof meminta parlemen tetap mendukung pemerintahannya dan berjanji menjalin hubungan lebih erat dengan legislatif. Dia menegaskan kabinet akan memasuki fase baru dengan mencari dukungan mayoritas parlemen untuk setiap kebijakan.
Baca Juga
“Kami sangat menyadari perlunya dukungan parlemen agar bisa mencapai hasil dalam periode mendatang,” tegas Schoof. Dia menambahkan, tidak ada pihak yang menang setelah keretakan terbaru di koalisi.
Gejolak politik Belanda menambah ketegangan di Eropa, menyusul pemerintahan Prancis yang juga berada di ambang kejatuhan. Kondisi ini menyulitkan upaya Eropa dalam merespons perang dagang Presiden AS Donald Trump sekaligus mendukung perdamaian di Ukraina. Menteri Perdagangan Belanda pun ikut mundur, memperlemah kapasitas pengambilan keputusan di saat kritis.
Meski demikian, pasar keuangan relatif tenang. Imbal hasil obligasi pemerintah Belanda tenor 10 tahun terhadap obligasi Jerman tetap stabil di 17 basis poin, level yang bertahan hampir dua pekan terakhir.
Pemilu dijadwalkan berlangsung Oktober mendatang, tetapi dengan lanskap politik yang terpecah, negosiasi pembentukan pemerintahan diperkirakan akan memakan waktu berbulan-bulan, meninggalkan Belanda dalam ketidakpastian panjang.
Langkah selanjutnya akan dibahas dalam debat parlemen hari ini yang kemungkinan berlanjut hingga malam. Semua partai akan menentukan apakah Schoof dan kabinetnya harus diganti atau tetap melanjutkan pemerintahan.
Schoof, yang berstatus independen, menyampaikan bahwa dua partai koalisi telah menyepakati pembagian kursi menteri yang kosong, menurut surat yang dikirimkan kepada parlemen Selasa malam.
Jika kabinet tetap bertahan, Schoof harus merangkul dukungan oposisi untuk menjalankan kebijakan. Namun, tuntutan partai-partai oposisi dinilai sulit dipenuhi.
Geert Wilders, pemimpin Partai Kebebasan (PVV) yang berhaluan kanan ekstrem, menyatakan hanya akan membantu Schoof bertahan jika pemerintah menjamin larangan penuh terhadap pencari suaka.
Namun, hal itu kecil kemungkinan dilakukan, mengingat keluarnya Wilders dari koalisi sebelumnya juga dipicu perselisihan soal kebijakan migrasi.
Di sisi lain, Partai Hijau-Kiri Buruh (GroenLinks-PvdA), oposisi kiri terbesar, menuntut Schoof bersikap lebih keras terhadap Israel—isu yang justru memicu krisis terbaru.
Apabila kabinet Schoof dipaksa mundur, salah satu opsi yang diajukan Partai D66 adalah menggantinya dengan pejabat senior nonpartai. Namun, belum jelas apakah partai lain mendukung gagasan tersebut, sementara Raja Belanda juga bisa menolak pengunduran diri kabinet, menurut laporan harian AD.