Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum atau KPU batal memberikan tanda khusus di surat suara untuk calon legislatif yang pernah menjadi terpidana kasus korupsi.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan wacana awal untuk memberi tanda khusus kepada calon legislatif alias caleg mantan terpidana korupsi akhirnya dibatalkan.
Titi menyebut rekam jejak korupsi mereka hanya akan dituliskan pada papan identitas setiap caleg yang terpajang di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS).
“Jadi nanti tidak ada surat yang ditandai kalau mereka ada rekam jejak korupsi. Tidak ada surat yang ditandai kalau mereka ada rekam jejak korupsi. Kalau pengumuman cuma kecil di papan pengumuman tidak diketahui,” tutur Titi.
Kondisi ini kata Titi telah membuat mantan narapidana korupsi lolos sebagai caleg bertambah banyak setelah putusan Mahkamah Agung tersebut. Dari yang awalnya ada 34 kandidat, sekarang jadi 50 lebih kandidat.
Menurut Titi, Indonesian Corruption Watch (ICW) akan berencana mengeluarkan rekam jejak para caleg dengan latar belakang pernah menjadi narapidana korupsi ke publik. Dengan informasi tersebut dia berharap bisa membantu masyarakat memilih caleg tanpa jejak korupsi.
Selain itu, Titi mendorong masyarakat selama proses penghitungan suara nanti untuk mau memotret dokumen C1 Plano, atau dokumen C1 rekapan dari hasil penghitungan penyelenggara Pemilu.
Selanjutnya, masyarakat diperkenankan untuk memotret hasil C1 itu ke akun publik masing-masing. Dengan demikian, para pengawas Pemilu bisa melakukan tracking atas 805.602 TPS. Sebab, daftar pemilih tetap (DPT) juga masih akan berubah.
Dia juga berpendapat, Pemilu Serentak kali ini bisa sangat menguras energi pemilih. Misalnya saja, pemilih mungkin membutuhkan waktu sekitar 8 menit untuk mencoblos. Sementara, untuk memilih caleg ada 160 kandidat yang sangat membingungkan apalagi jika pemilih tidak mengenal rekam jejaknya.
“Itu bisa jadi ada tiga menit pemilih hanya bengong untuk berpikir mau memilih yang mana,” terang Titi.
Titi menambahkan, bahwa invalid votes pada 2009 mencapai 14% dari total suara, dan 2014 angka itu sudah menurun. Meskipun begitu, menurut Titi terkait tingkat partisipasi pemilih, dia belum bisa memastikan apakah suara millennials akan memberi dampak pada hasil Pemilu 2019.
“Ada 79 juta sampai 80 juta itu suara millennials. Tetapi dampaknya seberapa besar? Kalau mereka tidak ke TPS ya tidak memberi dampak,” terang Titi.
Sebagai informasi, Perludem mencatat angka partisipasi politik Pemilu kali ini akan meningkat. Pada 2014, angka partisipasi politik dalam Pileg mencapai 75%, naik dari angka pada 2009 yang mencapai 71%. Sebaliknya, pada Pilpres 2014 angka partisipasi politik justru menurun. Pasalnya, pada 2009 angka partisipasi mencapai 75%, namun pada Pilpres 2014 angka partisipasi menjadi 70%. Partisipasi ini menurun pada 2014 karena ada kelompok yang merasa calon saat itu tidak mewakili mereka.