Bisnis.com, JAKARTA – Stadion Gelora Bung Karno di kawasan Senayan, Jakarta, sekarang tengah bersolek menghadapi Asian Games 2018.
Keberadaan stadion itu tak dapat dipisahkan dari sosok Presiden Sukarno dan Arsitek Friedrich Silaban. Keduanya pernah berdebat soal stadion ini.
Pada awal berdiri, Pemerintah Indonesia gencar membangun bangunan monumental sebagai ikon kota maupun negara salah satunya GBK. Kisah GBK sendiri berawal dari Asian Games III 1958 di Tokyo, Jepang.
Kala itu Asian Games Federation menunjuk Indonesia sebagai penyelenggara Asian Games ke -IV 1962. Presiden Sukarno pun menjawab hal itu dengan membangun sarana dan prasarana olahraga.
Untuk merealisasikan pembangunan itu, Sukarno kemudian mengeluarkan Keppres No.113/1959 tentang pembentukan Dewan Asian Games Indonesia. Dengan bantuan biaya dan tenaga ahli dari Uni Soviet, Sukarno menyertakan Arsitek Silaban di dalam proyek pembangunan stadion tersebut.
Sebelum menentukan lokasi di Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, awalnya GBK diproyeksikan berada di Kemayoran dan Dukuh Atas. Setiadi Sopandi, penulis buku Biografi Friedrich Silaban menuturkan, ketika penentuan lokasi GBK terjadilah perdebatan antara Silaban dan Sukarno.
Baca Juga
Setiadi mengungkapkan, pada awal perencanaan GBK, Silaban tidak dilibatkan. Sebab Uni Soviet juga telah mempersiapkan tenaga ahli dan rancangan bangunan stadion. Rancangan GBK ini mengacu pada Stadion Luzhniki di Moskow. Kemudian, Sukarno mengajak Silaban terlibat di dalam pembahasan proyek tersebut.
Sukarno Kesal
Di sebuah rapat pembahasan pembangunan GBK, Silaban dan Sukarno hadir di dalamnya. Di rapat itu, Sukarno menginginkan GBK berada di Dukuh Atas karena dekat dengan pusat kota.
“Jadi dahulu rancangannya dua lokasi yang terpisah dengan jalan raya. Proposalnya sudah ada,” ujarnya, Kamis (15/6/2017).
Dalam rapat tersebut, imbuh Setiadi, Sukarno meminta pendapat soal GBK di Dukuh Atas kepada Silaban. Dalam sebuah notulen rapat, Setiadi mengatakan, Silaban menanggapi hal tersebut dengan bahasa Inggris. Sebab rapat yang tidak diketahui tempat dan harinya itu, dihadiri pula oleh tim dari Uni Soviet.
“Merupakan hal yang patut disayangkan apabila Presiden menyetujui rencana ini [GBK di Dukuh Atas]. Mungkin [bila rencana ini terealisasi] bukan tak mungkin anak cucu aka berkata bahwa kakek kami bodoh sekali membangun GBK di lahan yang dibelah jalan raya. Sebab macetnya luar biasa,” ujar Setiadi menirukan ucapan Silaban.
Setiadi mengatakan, Bung Karno sempat kesal dengan tanggapan Silaban tersebut. Silaban, imbuh Setiadi, merekomendasikan GBK dibangun di area luar kota yang terhubung dengan jalan raya dan bangunan tersebut cukup monumental untuk dinikmati. Akhirnya pilihan jatuh ke kawasan Senayan.
Kawasan Kemayoran
Selain Senayan, pilihan lain yang muncul adalah kawasan Kemayoran. Namun, lokasi di sana masih berupa rawa sehingga harus diurug, sehingga biayanya menjadi lebih mahal.
“Akhirnya penentuan GBK di Senayan membuat Jakarta berkembang lebih masif ke selatan. Jalan Thamrin dan Sudirman kemudian menjadi tegas dan Bundaran Semanggi pun di bangun,” ujarnya.
Setelah lokasi disepakati pembangunan pun dimulai. Pemancangan tiang pertama pembangunan pada 8 Februari 1960 dilakukan oleh Sukarno dan dihadiri oleh Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Kruschev.
Kehadiran Kruschev tak lepas karena Uni Soviet memberi kredit lunak sebesar $12,5 juta untuk pembangunan GBK.
Kisah tersebut telah berlalu. GBK dan Senayan seiring waktu berkembang menjadi ikon Jakarta sekaligus Indonesia. GBK sendiri terus mengalami renovasi menyesuaikan zaman. Setelah Asian Games 1962, GBK kini menyambut kembali ajang serupa.