Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PILPRES AS: Saat Orang-Orang Pintar Memilih Jadi Imigran di Negara Anglo Saxon

Merayap ke hari H Pilpres Amerika Serikat pada 8 November, dunia berharap-harap cemas. Tak hanya warga Negeri Paman Sam saja yang deg-deganmenanti siapa yang akan menggantikan Barrack Obama sebagaiCommander-in-chief, tetapi hampir seluruh warga dunia.
Calon Presiden AS dari Partai Republi Donald Trump saat kampanye di Warren, Michigan AS. 31 Oktober 2016./Reuters-Carlo Allegri
Calon Presiden AS dari Partai Republi Donald Trump saat kampanye di Warren, Michigan AS. 31 Oktober 2016./Reuters-Carlo Allegri

Merayap ke hari H Pilpres Amerika Serikat pada 8 November, dunia berharap-harap cemas. Tak hanya warga Negeri Paman Sam saja yang deg-deganmenanti siapa yang akan menggantikan Barrack Obama sebagaiCommander-in-chief, tetapi hampir seluruh warga dunia.

Sambil menunggu, yuk mari kita soroti sejenak calon presiden dari kubu Republikan yang sangat kontroversial; Donald Trump. Bagi Anda yang rutin menyimak perkembangan politik AS, pasti masih merekam memori tentang pernyataan pria berkulit oranye itu terkait imigran.

“Saya akan membangun tembok besar—dan tidak akan ada orang yang membangun tembok lebih baik dari saya, percaya saya—dan saya akan membangunnya sehemat mungkin. Saya akan membangun tembok yang sangat, sangat besar di perbatasan selatan [AS], dan saya akan membuat Meksiko membayar untuk [melewati] tembok itu. Camkan kata-kata saya!”

Meskipun disampaikan dengan berapi-api, kata-kata itu terdengar sangat berdarah dingin. Toh bagaimanapun, bukan hanya Trump yang diam-diam ingin mempersulit masuknya imigran ke negara-negara berpenghasilan tinggi.

Retorika antiimigran telah menyeruak di kalangan politisi tingkat tinggi negara-negara Transatlantik; AS, Kanada, dan sebagian besar ekonomi Eropa. Di Inggris, misalnya, wacana pengendalian imigran menelusuk di tengah debat kusir soal Brexit.

Di AS, tidak usah ditanya lagi, isu imigran menjadi sangat sensitif di kalangan politikus. Sampai-sampai Trump tidak malu-malu mengumbar orasi bernada peyoratif untuk menyoroti masalah imigran; entah itu membasmi imigran Muslim atau mendepak orang Amerika Latin.

Tiba-tiba saja, gembar-gembor antiimigran itu menjadi sebuah ironi ketika bulan lalu enam orang penerima Hadiah Nobel 2016 di bidang sains yang mewakili AS kesemuanya adalah kaum imigran. Kalau mengutip bahasameme, itu adalah; “That awkward moment!

Sebuah analisis yang dilakukan Stuart Anderson dari National Foundation for American Policy mengungkapkan fakta bahwa kaum imigran telah mewakili AS dalam memenangkan 40% (sekitar 31 dari 78) Hadiah Nobel sejak 2000.

Mereka menerima penghargaan di berbagai bidang; terutama kimia, obat-obatan, dan fisika. Kebanyakan dari imigran pemenang Hadiah Nobel itu berasal dari Jepang, Kanada, Turki, Austria, China, Israel, Afrika Selatan, dan Jerman.

Saking banyaknya, sampai-sampai Presiden Obama—entah dengan bangga atau berat hati—menuliskan di laman Twitter resmi Gedung Putih, “Kita ini negara yang punya enam orang ilmuwan dan peneliti pemenang Hadiah Nobel; dan kesemuanya adalah imigran!”

BEDOL DESA

Ada banyak faktor yang memengaruhi prestasi kaum imigran di Transatlantik. Selain karena kebijakan mereka yang melonggarkan peran imigran, faktor kunci lainnya adalah karena selama lebih dari dua dekade terakhir terjadi fenomena ‘bedol desa’ orang-orang jenius.

Bank Dunia, dalam laporannya yang bertajuk Global Talent Flow,mengungkapkan 28 juta imigran berkemampuan tinggi (high-skilled migrants) tinggal di negara-negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), naik 130% sejak 1990.

Data yang dilansir pada Oktober 2016 itu juga memaparkan 70% dari ‘imigran pintar’ itu membidik hanya 4 negara utama sebagai tujuan hijrah. Mereka adalah Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Australia.

Tercatat, pada 2010 AS menjadi suaka bagi 11,4 juta imigran pintar atau setara dengan 41% dari total imigran di negara anggota OECD. Adapun, jumlah imigran pintar bergender perempuan melesat 152% selama rentang waktu 1990—2010.

Itu artinya, orang-orang pintar dari berbagai belahan dunia cenderung mengincar negara-negara yang mengutamakan investasi human capitaldengan standar pendidikan yang baik. Bagaimanapun, fenomena eksodus orang-orang pintar ini menjadi sebuah kontroversi.

Di satu sisi, banyak negara yang ditinggal hengkang mengalami tekor tenaga ahli. Namun, di sisi lain, para imigran pintar itu juga bisa menjadi jembatan aliran pengetahuan, modal, dan barang antarnegara dan antarbangsa.

Ekonom Bank Dunia Çaglar Ozdenmenjelaskan kebanyakan orang pintar yang meninggalkan negaranya untuk hijrah ke OECD berasal dari negara-negara kepulauan atau ekonomi-ekonomi berpenghasilan rendah/menengah. Termasuk Indonesia.

Masih ingat Arcandra Tahar kan? Pria asli Padang yang menjadi imigran di AS dan bisa menduduki posisi penting seperti Presiden Petroneering LLC.Skill-nya jelas. Kepintaran dan pengalaman juga jelas. Namun, status kewarganegaraannya justru dipermasalahkan di RI.

Problema seperti Arcandra, menurut Ozden, kerap terjadi di negara-negara berkembang lain yang banyak ditinggal minggat oleh para tenaga ahlinya. Namun, sebenarnya negara tidak harus kehilangan mereka, jika saja mau lebih luwes. Misalnya, menerapkan dual citizenship.

“Orang pergi karena alasan kebutuhan hidup. Jika Anda meningkatkan dan mengembangkan negara dan standar hidup orang-orang berpendidikan, pastilah mereka akan tetap tinggal dan tidak hengkang ke negara orang. Jangan memaksa mereka memilih,” tegasnya.

Satu fenomena menarik yang dicermati Ozden adalah; eksodus orang-orang pintar di dunia saat ini mulai didominasi oleh kaum perempuan. Kaum Hawa ber-skill tinggi yang hengkang ke OECD memecahkan rekor dari 5,7 juta jiwa menjadi 14,4 juta jiwa.

Pertumbuhan 152% itu terjadi selama kurun waktu 1990—2010, dan mengalahkan jumlah imigrasi yang ditorehkan oleh orang pintar berjenis kelamin laki-laki. Adapun, kebanyakan perempuan pintar yang bermigrasi itu berasal dari Afrika dan Asia.

“Pemicu terbesarnya adalah adanya ketimpangan gender dan tantangan pasar tenaga kerja di negara asal mereka. Padahal, hilangnya para perempuan berpendidikan tinggi adalah masalah fatal bagi sebuah negara karena para ibu memiliki implikasi langsung terhadap anak-anak.”

Gambaran besar mengenai fenomena eksodus orang-orang pintar dari negara-negara berkembang itu agaknya menjadi sebuah pertanda bahwa ke depannya kompetisi skill di tingkat global akan semakin timpang dan ganas.

Konsentrasi volume imigran di 4 negara Anglo-Saxon (AS, Inggris, Kanada, dan Australia) akan berujung pada perkembangan pusat riset, pendidikan, universitas, dan perusahaan teknologi yang asimetris di dunia ini.

Jadi, ketimbang sekadar menghujat orang-orang seperti Donald Trump yang berniat mengendalikan masalah imigran, mengapa kita tidak menyediakan wadah layak yang bisa menaungi pemuda-pemuda terbaik bangsa agar mereka tidak lari ke negeri orang?

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Fatkhul Maskur

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper