Bisnis.com, JAKARTA - "Two opposite towards the Greeks are common at the present day. One... as the inventors all that is best, and as men of superhuman genius whom the moderns cannot hope to equal. The other attitude... maintains that most of their contributions of thought are now best forgotten."
Kalimat di atas bukanlah dikutip dari sumber media massa saat ini, di mana bangsa Yunani pada Minggu (5/7/2015) berbondong-bondong menuju bilik suara untuk berpartisipasi dalam referendum yang akan menentukan nasib negara akar filsafat Barat itu ke depan.
Namun, kalimat yang ditulis dalam buku "History of Western Philosophy" oleh Bertrand Russel pasca-Perang Dunia II itu dinilai masih terasa relevan dengan kondisi perekonomian Yunani yang karut marut seperti sekarang ini.
Sebagaimana telah banyak diulas di berbagai pemberitaan, negara dengan populasi sekitar 11 juta orang itu harus memilih antara "Ya" guna mengikuti aturan pengetatan anggaran yang diajukan Uni Eropa, atau "Tidak".
Mengapa aturan pengetatan anggaran yang diajukan Uni Eropa menjadi penting? Hal itu karena kondisi Yunani sekarang telah bangkrut akibat selama bertahun-tahun hidup dengan anggaran yang berbasis utang dari luar negeri.
Kantor berita AFP memberitakan, di Yunani sendiri suara masyarakat juga terpecah secara tajam menjadi dua belah pihak, antara yang memilih Ya (menyetujui syarat Uni Eropa), dengan yang memilih Tidak (dengan konsekuensi Yunani dapat keluar dari Uni Eropa).
Seorang pengusaha jam tangan, Nikos Vichos (62) memutuskan memilih Ya karena kepemimpinan pemerintahan Yunani saat ini yang menolak renegosiasi pemberian bantuan dari Uni Eropa membuat kondisi bisnis menjadi tidak pasti dan dirinya telah memotong gaji para pekerjanya agar bisnisnya bisa bertahan.
Sedangkan seorang pengangguran, Yanis (29) menyatakan memilih Tidak karena menilai hanya itulah satu-satunya cara agar Yunani terbebas dari krisis ekonomi yang telah melanda negara tersebut selama enam tahun terakhir. "Solusinya berada di luar Uni Eropa dan (mata uang) euro," katanya sebagaimana dikutip AFP.
Berbeda dengan Yanis, seorang pensiunan Giorgos Trentsios (66) mengemukakan bahwa bila Yunani ke luar dari euro dan kembali ke drachma (mata uang lama Yunani), maka kondisinya akan semakin memburuk. "Saya tidak mau masa depan cucu saya hancur. Mereka punya hak untuk hidup secara normal," katanya.
Namun senada dengan Yanis, seorang guru Corina Iliadou (50) mengatakan memilih Tidak antara lain karena untuk kebanggaan nasional.
Populisme Kebanggaan nasional merupakan salah satu retorika yang digunakan Perdana Menteri Yunani Alexis Tsipras saat ini, yang berasal dari partai Syriza yang berhaluan populisme kiri ekstrem.
Populisme itu sendiri dapat diartikan sebagai doktrin politik yang menekankan kepada kepentingan rakyat kebanyakan tetapi rata-rata hanya menawarkan orasi retorika belaka atau mengajukan proposal yang tidak realistis.
Sebagai sebuah partai ekstrem kiri yang populis, Syriza memiliki landasan program yang mengedepankan "rakyat" dalam retorika mereka serta kampanye yang menitikberatkan kepada "Kita/rakyat melawan mereka/kaum mapan".
Namun, retorika seperti "kebanggaan nasional" dan "semua untuk rakyat" yang kerap digunakan para politisi populis tidak hanya terbatas pada kiri ekstrem, tetapi juga partai kanan ekstrem populis di Yunani seperti partai Fajar Keemasan ("Golden Dawn").
Sebagai partai ekstrem kanan yang populis, "Golden Dawn" mengajukan usulan untuk menganeksasi kawasan di Albania dan Turki, termasuk kota Istanbul dan Izmir yang saat ini berada di dalam kedaulatan Turki, karena secara historis kota itu dahulunya berada di bawah kekuasaan Yunani.
Dalam hal referendum untuk setuju atau tidak sepakat dengan pengajuan persyaratan pengetatan anggaran Yunani yang diajukan Uni Eropa, baik Styriza maupun "Golden Dawn" sama-sama memainkan kartu populisme dengan mengedepankan bahwa Uni Eropa adalah sang kolonialis atau teroris (seperti diucapkan Menkeu Yunani Yanis Varoufakis).
Mereka mengambil alih ketakutan dari masyarakat Yunani bahwa dengan menyetujui persyaratan pengetatan anggaran, Yunani akan semakin menderita di bawah tekanan Uni Eropa. Mereka seakan-akan lupa bahwa Yunani selama beberapa tahun terakhir praktis hidup berdasarkan dana talangan yang diberikan oleh Uni Eropa.
Sosok utama yang mengemuka di tengah populisme semu yang merebak di Yunani saat ini tidak lain adalah sang Perdana Menteri, Alexis Tsipras.
Sebagaimana dikutip dari kantor berita AFP, lima bulan setelah menjadi kepala pemerintahan, Alexis Tsipras kerap membuat berbagai pihak baik di Yunani maupun di seluruh Eropa bertanya-tanya.
Tsipras dinilai sebagai seorang pakar strategi dalam memainkan gertakan kepada kreditor Yunani dengan memberikan kata akhir kepada rakyat melalui referendum. Namun yang lain menilainya berbeda.
Tsipras membantah bahwa dirinya sedang memainkan tarik ulur terhadap masa depan Yunani, dan menegaskan bahwa kemenangan "Tidak" dalam referendum akan memperkuat Yunani dalam negosiasi dengan Eropa.
Perdana Menteri juga menyatakan bahwa pembahasan mengenai "Grexit" (keluarnya Yunani dari Uni Eropa) hanyalah permainan menakuti-nakuti yang digunakan lawannya.
Menurut AFP, Tsipras telah menjadi sosok pemberontak sejak dahulu. Pada usia 17 tahun dia memimpin aksi demonstrasi untuk memperjuangkan hak murid agar memutuskan sendiri apakah mereka memilih masuk ke kelas atau membolos.
Hingga 23 tahun kemudian, Tsipras juga masih memegang teguh pergolakan dalam dirinya dan menyatakan kepada masyarakat Yunani untuk memilih Tidak karena, "Rakyat harus memutuskan bebas dari segala macam ancaman".
Apapun idealisme yang dipegang oleh Tsipras, kepemimpinannya yang menekankan kepada kebanggaan rakyat Yunani juga telah mengakibatkan kepanikan yang terindikasi dengan banyaknya orang yang menyerbu ATM untuk mengambil uang tunai mereka dari bank.
Menkeu Yanis Varoufakis menyatakan bahwa pemerintahan pimpinan Tsipras akan mengundurkan diri bila yang menang adalah kelompok "Ya" Indonesia Indonesia sendiri dinilai tidak akan bernasib sama seperti Yunani yang saat ini mengalami kebangkrutan dan mendapatkan status "default" atau gagal bayar utang dari berbagai lembaga keuangan multilateral seperti IMF, kata Staf Khusus Kementerian Keuangan Arif Budimanta.
"Indonesia tak akan bangkrut seperti Yunani," kata Arif Budimanta dalam diskusi yang digelar Humas MPR sebagaimana disampaikan dalam rilis MPR RI yang diterima di Jakarta, Sabtu (4/7).
Arif yang merupakan mantan anggota MPR/DPR dari Fraksi PDIP itu membandingkan utang Yunani yang sudah mencapai 200 persen lebih, sedang utang Indonesia masih 25 persen.
Selain itu, ujar dia, defisit fiskal Yunani mencapai 60 persen, sedang Indonesia kurang dari 1,9 persen. "Dari sisi pertumbuhan ekonomi kita positif sedang Yunani negatif," ujarnya.
Untuk itu, ia mengajak berbagai pihak untuk optimistis dan tidak perlu ada ketakutan apalagi kebijakan pemerintah selama ini diakui pro-rakyat.
Arif mengemukakan, hal tersebut dapat dilihat antara lain dari politik anggaran yang berpihak pada pembangunan desa. Anggaran desa naik dari Rp9,7 triliun tahun sebelumnya menjadi Rp21 triliun pada tahun ini.
Sebelumnya, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menuturkan Indonesia kini masih jauh dari krisis ekonomi seperti yang pernah terjadi pada 1998 akibat melemahnya mata uang rupiah.
"Kalau dilihat angka sepertinya sudah dekat, dulu Rp15.000 sekarang kita sudah Rp13.400. Meskipun angkanya mirip, tetapi situasinya sangat berbeda," ujar dia di Jakarta, Kamis (2/7).
Pada 1998, kata dia, inflasi mencapai 78 persen karena rupiah melemah sehingga orang-orang berlomba menarik dana dari perbankan dalam bentuk tunai dan BI mencetak uang dalam jumlah besar.
Sedangkan sekarang, Tony mengatakan inflasi "year on year" sebesar 7,15 persen, jauh dibanding pada 1998.
Selanjutnya, suku bunga deposito pada 1998, tutur dia, mencapai 60 hingga 70 persen sehingga bunga deposito lebih tinggi dari bunga kredit yang hanya 24 persen.
"Akibatnya terjadi 'negatif spread', maka bank-bank kolaps, termasuk bank-bank besar pemerintah. Sedangkan sekarang tidak ada bank yang kolaps. Jadi kondisi 1998 jauh lebih dahsyat jeleknya dibandingkan 2015," katanya.
Sementara itu, Bank Indonesia menilai dampak krisis di Yunani terhadap kondisi perekonomian Indonesia relatif tidak besar karena selain sudah dapat diantisipasi juga disebabkan membaiknya fundamental ekonomi domestik.
"Kita lihat sebetulnya dampak Yunani ke Indonesia di saat ini tidak besar, malah Yunani yang sudah makin timbulkan risk on dan risk off dunia, ada unsur price in juga. Negara Eropa percaya kalau dampak Yunani pun dapat diantisipasi," kata Gubernur BI Agus Martowardojo saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (1/7).
Gubernur BI juga menuturkan, pihaknya selalu mengikuti perkembangan terbaru terkait kondisi perekonomian Yunani dan pihaknya merasa prihatin dengan apa yang terjadi di negara tersebut.
Agus mengingatkan pentingnya untuk terus memantau dan memerhatikan perkembangan ekonomi dunia seperti normalisasi kebijakan The Fed, pelemahan ekonomi Tiongkok, dan kondisi ekonomi Eropa, serta dampaknya terhadap ekonomi di Tanah Air.
"Ternyata di Indonesia saat ini harus diakui fundamentalnya cukup baik dari dua tahun lalu dan inflasi juga terjaga," kata Agus.
Meski secara fundamental perekonomian Indonesia dinilai baik, tetapi pemerintah juga harus benar-benar bisa mengantisipasi efek dari referendum Yunani, apakah hasil yang akan muncul sebagai pemenang itu kelompok "Ya" atau "Tidak".
Namun, hal yang terpenting adalah bagaimana agar populisme semu seperti terindikasi terjadi di Yunani juga tidak lolos ke dalam kancah perpolitikan Indonesia yang baru memasuki masa reformasi pada akhir abad ke-20.