Bisnis.com, JAKARTA - Sepuluh tahun silam musibah maha dahsyat, gelombang tsunami, menerjang Aceh dan Nias. Ujian Sang Maha Kuasa itu, masih teringat kuat dalam ingatan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Melalui akunnya di facebook, SBY menuangkan ingatannya soal bencana tsunami itu dengan panjang lebarnya.
"Ya Allah, musibah apa ini....," ucap saya lirih.
Kalimat pendek itu menjadi pembuka tulisan panjang SBY dengan judul Dari Duka Kita Bangkit, 10 Tahun Tsunami Aceh dan Nias.
Berikut ini kutipan lengkapnya:
"Ya Allah, musibah apa ini ... ," ucap saya lirih.
Hal ini saya ucapkan di Wisma Gubernur Papua, Jayapura, tanggal 26 Desember 2004, ketika berita yang saya terima tentang gempa bumi di Aceh bertambah buruk dari jam ke jam. Dino Patti Djalal dan Andi Mallarangeng, dua juru bicara Presiden, yang terus "meng-update" perkembangan situasi di Aceh ikut pula cemas. Istri tercinta yang mendampingi saya saat itu nampak makin sedih. Matanya mulai berkaca-kaca.
Komunikasi yang dilakukan oleh para Menteri dan Staf Khusus yang mendampingi saya memang amat tidak lancar. Mereka nampak frustrasi. Belakangan baru tahu bahwa telekomunikasi di seluruh Aceh lumpuh total. Tetapi, yang membuat pikiran saya semakin tegang adalah setiap berita yang masuk jumlah korban gempa terus meningkat dengan tajam.
Pertama belasan, kemudian puluhan, ratusan dan bahkan ribuan. Waktu itu saya benar-benar belum mengetahui bahwa yang terjadi ternyata bukan hanya gempa bumi, tetapi juga tsunami yang amat dahsyat.
Selama jam-jam yang menegangkan itu saya tetap memelihara komunikasi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang saat itu berada di Jakarta. Intinya, nampaknya ini bukan bencana alam biasa. Sesuatu yang besar. Kita harus siap menghadapi hal yang paling buruk. Kita harus dapat bertindak dengan cepat namun sekaligus tepat.
Oleh karena itu, meskipun malam harinya saya tetap menghadiri perayaan Natal bersama umat Kristiani yang ada di Jayapura yang sudah lama dipersiapkan, saya meminta acara itu dipersingkat dan saya mengajak hadirin untuk berdoa atas keselamatan saudara-saudara kita yang sedang tertimpa bencana alam di Aceh.
Rapat Darurat Kabinet Terbatas di Jayapura
Dengan informasi dan intelijen yang sangat minim, malam itu di Jayapura saya segera menggelar rapat Kabinet Terbatas, yang dihadiri oleh sejumlah Menteri yang mendampingi saya. Ingat, kunjungan saya ke Papua waktu itu di samping menghadiri perayaan Natal bersama juga meninjau Nabire yang baru saja tertimpa bencana.
Suasana nampak hening. Para Menteri sempat merasakan ketegangan saya. Sebenarnya, ketika saya pandangi wajah-wajah mereka, nampaknya hal itu juga dialaminya. Setelah melakukan pembahasan secukupnya, saya mengambil keputusan bahwa esok hari, sepagi mungkin, kita langsung ke Aceh. Bukan ke Jakarta sesuai dengan yang telah direncanakan. Pada waktu itu memang ada yang berpendapat dan menyarankan agar sebaiknya saya kembali ke Jakarta dulu. Setelah segalanya menjadi jelas, baru ke Aceh.
"Tidak. Kita langsung ke Aceh. Persiapkan penerbangan kita. Kita berangkat sepagi mungkin," demikian arahan saya
"Siap, Bapak Presiden," jawab mereka. Serentak.
"Terima kasih. Dalam keadaan yang serba tidak jelas ini justru sebagai pemimpin saya harus mengetahui situasi di lapangan yang sebenarnya. Di situ saya bisa segera mengambil keputusan. Dan kemudian memberikan instruksi dan segera bertindak."
Mereka kembali mengangguk. Tanda mengerti.
Saya dibesarkan di dunia militer. Dari Letnan hingga Jenderal. Saya bersyukur karena dapat kesempatan sejarah untuk bertugas di medan pertempuran di Timor Timur selama hampir 5 tahun. Juga pernah bertugas di Bosnia sebagai bagian dari Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB.
Dalam kehidupan militer inilah saya selalu ingat apa yang didoktrinkan kepada para Komandan Satuan tempur apa yang disebut "3 Quick." Dalam bahasa Inggris berbunyi: "Quick to see, quick to decide, quick to act."
Malam itu juga saya mengeluarkan instruksi kepada Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan Kapolri Jenderal Polisi Da'i Bachtiar untuk menyiagakan pasukannya, dan segera melakukan apa saja yang bisa dilakukan untuk membantu Aceh dalam mengatasi bencana dahsyat itu.
Meskipun, terus terang, pengetahuan saya sendiri terhadap bencana tsunami belum luas benar. Tetapi, pegangan saya adalah bahwa korban jiwa amat besar, berarti memerlukan tindakan yang besar pula.(bersambung)