Bisnis.com, JAKARTA - Penetapan Hadi Poernomo sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi permohonan keberatan pajak PT Bank Central Asia Tbk, langsung direspons oleh manajemen BCA.
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja memberikan keterangan pers di kantor pusat BCA Jakarta, Selasa siang (22/4/2014). Namun, dia enggan menanggapi persoalan KPK dan Hadi Poernomo.
"Kami hanya bersedia menjawab pertanyaan mengenai perpajakan di BCA," katanya.
Sebelumnya, kasus ini berawal pada 17 Juli 2003 saat Bank BCA mengajukan keberatan pajak atas transaksi rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) senilai Rp5,7 triliun kepada Direktur PPH Ditjen Pajak. Bank BCA keberatan dengan nilai pajak yang harus dibayar karena nilai kredit macet mereka mencapai Rp 5,7 triliun.
Pada 13 Maret 2004, Direktur PPH mengirim surat pengantar risalah keberatan langsung pada Dirjen Pajak yang berisi telaah dan kesimpulan.
"Kesimpulan itu langsung ditujukan berupa surat pengantar risalah keberatan. Adapun hasil telaahnya berupa kesimpulan bahwa permohonan keberatan wajib pajak PT BCA ditolak," ujar ketua KPK, Abraham Samad di Gedung KPK, Jakarta, Senin (21/4/2014).
Namun, Hadi Purnomo yang saat itu Dirjen Pajak, pada 17 Juli 2004 mengubah kesimpulan yang semula dinyatakan menolak menjadi menerima seluruh permohonan PT Bank BCA. Yang mencurigakan kesimpulan itu dikeluarkan 1 hari sebelum jatuh tempo pembayaran pajak Bank BCA pada 18 Juli 2004.
"Kemudian Saudara HP mengeluarkan SKPN, tanggal 18 Juli 2004 yang memutuskan menerima seluruh permohonan wajib pajak, sehingga tidak ada cukup waktu bagi Dirjen PPH untuk menelaah," kata Abraham.
Hal mencurigakan lainnya, HP justru mengabaikan adanya fakta materi keberatan yang sama oleh bank lain. Padahal kecenderungan kasus sama. "Di sinilah duduk persoalan kasus tersebut," ujarnya.
Masalah lain adalah tahun pajak yang dibebankan pada Bank BCA adalah 1999. Namun, BCA baru mengirimkan surat keberatan pada 2003. Untuk itu, sejauh ini KPK masih mendalami ada tidaknya penerimaan yang diterima oleh HP terkait kasus ini.
KPK menjerat HP dengan Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Atas perbuatan HP, negara diduga mengalami kerugian Rp375 miliar.