Bisnis.com, JAKARTA—Meski Amerika Serikat siap untuk menyerang Suriah, namun Perdana Menteri Inggris, David Cameron didesak parlemen negaranya untuk membatalkan rencana serangan tersebut.
Cameron tidak saja mendapat tekanan dari parlemen dan rakyat Inggris, namun juga dari luar negeri yang membuat posisinya serba sulit.
Hanya sehari setelah meminta pendapat parlemen bagaimana menghadapi Suriah yang dituduh telah menggunakan senjata kimia dalam menghadapi para pemberontah, Cameron dipermalukan setelah pemimpin oposisi dari Partai Buruh menyatakan pihaknya akan mengevaluasi kebijakan itu. Sedangkan sejumlah anggota legislatif dari kalangan Partai Konservatif yang berkuasa juga menentangnya.
Rabu kemarin sekjen PBB, Ban Ki-moon, sebagaimana dikutip Reuters, Kamis (29/8/2013), mengatakan tim investigasi yang dikerahkannya memerlukan waktu tambahan untuk bekerja menyelidiki dugaan penggunaan senjata kimia di Suriah. Rusia mengatakan terlalu dini untuk mengeluarkan resolusi PBB untuk menyerang Suriah, sedangkan Partai Buruh mengatakan perlu waktu untuk membuktian penggunaan senjata berbahaya tersebut.
Kegagalan Cameron untuk meyakinkan parlemen mengeksekusi rencana serangannya akan berdampak terhadap rencana Amerika Serikat untuk mrluncurkan rudalnya ke Suriah. Kondisi itu berpotensi mengganggu hubungan kedua negara sekutu tersebut.
Berpedoman kepada ketidakpercayaan publik kepada perdana menteri sebelumnya, Tony Blair, saat Inggris terlibat Perang Irak di Teluk pada 2003, pemimpin Partai Buruh, Ed Miliband dan kalangan penentang Cameron dari partainya sendiri yakin serangan itu harus dibatalkan.