Bisnis.com, JAKARTA — Uni Eropa (UE) sedang mempertimbangkan penerapan sanksi sekunder guna mencegah negara pihak ketiga membantu Rusia menghindari sanksi yang sudah berlaku.
Menurut sumber yang dikutip dari Bloomberg pada Kamis (28/8/2025), Uni Eropa saat ini sedang menyiapkan paket sanksi ke-19 yang diperkirakan akan berfokus pada isu penculikan anak-anak Ukraina oleh Rusia.
Isu ini menjadi sorotan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam pertemuan terakhirnya dengan para pemimpin Eropa di Gedung Putih untuk membahas perang.
Para menteri luar negeri Uni Eropa dijadwalkan bertemu di Kopenhagen pekan ini dan akan membahas berbagai opsi, termasuk mekanisme anti-circumvention yang diadopsi sejak 2023 tetapi belum pernah digunakan.
Instrumen ini memungkinkan UE melarang ekspor, pasokan, atau transfer barang tertentu ke negara ketiga yang dianggap membantu Rusia menghindari sanksi.
Salah seorang juru bicara Komisi Eropa menolak memberikan komentar terkait rencana tersebut.
Baca Juga
Selain itu, diskusi para menteri juga mencakup kemungkinan sanksi tambahan terhadap sektor minyak, gas, dan keuangan Rusia, serta pembatasan lebih lanjut pada impor dan ekspor barang Rusia. Namun, pembahasan ini bersifat informal dan tidak secara khusus difokuskan pada paket sanksi baru.
Uni Eropa selama ini enggan memberlakukan sanksi sekunder, apalagi di tengah kritik dari pemerintahan Trump terkait kebijakan tersebut. Namun, seiring persiapan paket sanksi terbaru yang ditargetkan rampung dalam beberapa pekan ke depan, Brussel dinilai sudah mencapai batas efektivitas sanksi yang hanya menyasar Rusia secara langsung.
Di sisi lain, Trump telah memberlakukan tarif sekunder untuk menghukum India atas pembelian minyak mentah Rusia, yang dianggap sebagai bentuk dukungan tidak langsung bagi Moskow dalam perang Ukraina.
Meski sekutu Eropa mendorong Washington memperluas langkah hukuman terhadap Rusia, pemerintahan AS sejauh ini masih menahan diri untuk mengesahkan rancangan sanksi besar-besaran yang disebut “bone crushing sanctions”.