Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa Wakil Menteri tidak boleh merangkap jabatan. Hal itu ditegaskan dalam putusan 21/PUU-XXIII/2025 yang diputus belum lama ini.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK memberikan penilaian bahwa larangan yang berlaku bagi menteri juga berlaku terhadap
wakil menteri.
Sekadar informasi, berdasarkan Pasal 23 UU 3/2008, seorang menteri dilarang
merangkap jabatan sebagai pejabat negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan, komisaris, atau direksi pada perusahaan negara, atau perusahaan swasta, atau pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD.
Dengan adanya penegasan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019, maka terang bahwa wakil menteri juga dilarang merangkap jabatan lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 23 UU 39/2008.
"Meskipun dalam amar putusan a quo permohonannya tidak dapat diterima, tetapi dalam membaca putusan juga sudah seharusnya membaca dan melihat ratio decidendi-nya."
Adapun dalam amar putusannya, MK menyatakan tidak dapat menerima permohonan uji materiil terkait larangan Wamen merangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi perusahaan.
Baca Juga
Putusan itu teregister dalam sidang Nomor 21/PUU-XXIII/2025. Tercatat, pemohon pengujian materiil terkait UU No.39/2008 No.39/2008 tentang Kementerian Negara ini yaitu Juhaidy Rizaldy Roringkon.
Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua MK Saldi Isra menyatakan bahwa alasan tidak dapat diterimanya pengujian materiil UU Kementerian Negara itu lantaran pemohon dinyatakan meninggal dunia.
Informasi meninggalnya Juhaidy Rizaldy Roringkon itu diperoleh berdasarkan surat keterangan dari RS Dr. Suyoto Jakarta pada 22 Juni 2025 pukul 12.55 WIB.
"Karena Pemohon telah meninggal dunia maka seluruh syarat anggapan kerugian konstitusional yang didalilkan Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukum yang bersifat kumulatif tidak terpenuhi oleh Pemohon,” ujar Saldi dikutip dalam laman resmi MK, Jumat (18/7/2025).
Kemudian, Saldi menjelaskan, atas informasi kematian ini telah membuat kedudukan hukum pemohon menjadi tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut.
Pasalnya, pemohon dianggap tidak lagi memiliki hak konstitusional setelah meninggal dunia. Saldi juga menyampaikan bahwa keberadaan pemohon menjadi syarat agar pengujian UU di MK bisa relevan dan berkesinambungan dengan pemohon.
“Mengingat syarat lain yang juga dipenuhi dapat diberikan kedudukan hukum oleh Pemohon adalah apabila permohonan dikabulkan maka anggapan hak konstitusional yang dialami Pemohon tidak lagi terjadi atau tidak lagi akan terjadi," pungkasnya.
Sebelumnya, Juhaidy selaku Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies (ILDES) menilai Pasal 23 UU Kementerian Negara bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 3, Pasal 17, Pasal 27 Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (3) UUD NRI 1945.
Juhaidy merasa dirugikan karena tidak ada larangan bagi wakil menteri untuk merangkap jabatan. Dia berpandangan tidak adanya aturan terkait Wamen rangkap jabatan ini telah menjadi hal lumrah dalam pemerintahan saat ini.
Di samping itu, kondisi rangkap jabatan ini, berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Contohnya, rentan akan konflik kepentingan.
Pada intinya, Juhaidy meminta MK menyatakan frasa “Menteri” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 Kementerian Negara bisa dibuat jelas untuk melarang "Menteri dan Wakil Menteri" dilarang merangkap jabatan baik itu komisaris maupun direksi perusahaan.