Bisnis.com, JAKARTA – Suasana ruang rapat di Komisi X DPR kemarin cukup serius. Ada banyak tokoh, akademisi, hingga aktivis hadir. Tampak mantan Jaksa Agung era Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Marzuki Darusman, sejarawan Asvi Warman Adam, hingga Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid. Mereka datang ke DPR untuk menyatakan penolakannya terhadap proses revisi ‘Sejarah Resmi’ Indonesia.
“Kami dari AKSI [Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia] dengan ini menyatakan menolak proyek penulisan 'sejarah resmi’ Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia,” ucapnya.
Sekadar informasi, Marzuki adalah sosok yang cukup sentral ketika transisi pemerintahan Indonesia dari otoritarianisme Orde Baru ke era reformasi yang lebih demokratis. Pada waktu itu, Marzuki menjadi anggota tim gabungan pencari fakta peristiwa 1998. Tim ini berupaya menguak kasus kerusuhan dan kekerasan rasial yang muncul sebelum tumbangnya orde daripada Soeharto.
Marzuki bersama AKSI curiga bahwa proses revisi sejarah yang sedang berlangsung bertujuan untuk merekayasa masa lalu bangsa Indonesia dengan tafsir tunggal. Pemerintah, kata dia, juga ingin menegakkan suatu rekonstruksi sejarah tertentu, sehingga melahirkan ilusi bahwa pemerintah seolah mendapat mandat bangsa untuk menegakkan sejarah yang dirancangnya.
“Tindakan itu merupakan cara halus pemerintah untuk mengontrol pemikiran rakyat dan memonopoli kebenaran atas sejarah bangsa,” beber Marzuki.
Dalam catatan Bisnis, proyek sejarah resmi, yang kemudian menjadi rujukan untuk penyusunan buku-buku sejarah, pertama kali dilakukan oleh Orde Baru. Ide-ide tentang sejarah nasional itu sudah muncul sejak lama, namun baru direalisasikan pada dekade 1970-an. Pada waktu itu terbit, Sejarah Nasional eIndonesia (SNI) yang muncul dalam 6 jilid.
Baca Juga
Penulis sejarah resmi pemerintah pada waktu itu adalah Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Keduanya adalah sejarawan dari Universitas Indonesia. Sosok Nugroho sendiri merupakan sejarawan yang dikenal dekat dengan militer. Dia bahkan disebut sebagai think tank sejarah pada era Orde Baru dalam buku Ketika Sejarah Berseragam yang ditulis oleh penulis Australia, Katharine E McGregor. Ada bagian khusus yang membahas peran Nugroho, dalam tulisan McGregor.
“Nugroho Notosusanto merupakan salah satu propagandis yang paling penting dalam rezim Orde Baru,” tulis McGregor dalam buku tersebut.
Sejak pertama kali diterbitkan pada 1975, SNI sejatinya pernah beberapa kali mengalami revisi. SNI pernah direvisi pada tahun 1984. Ada sejumlah substansi yang direvisi, penekanan tentang peran Orde Baru diperbanyak pada waktu itu.
Pada era reformasi, gugatan terhadap sejarah resmi Orde Baru banyak dilakukan oleh sejarawan. Sejarawan UGM, Bambang Purwanto, menyerukan tentang dekonstruksi historiografi. Dia menerbitkan buku yang berjudul ‘Gagalnya Historiografi Indonesiasentris’.
Dia bersama dengan Henk Schulte Nordholt dan Ratna Saptari, juga menerbitkan buku berjudul Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Buku ini berisi gugatan terhadap narasi besar tentang sejarah dan memperhatikan tema-tema marjinal yang selama ini dikesampingkan dalam narasi resmi pemerintah. Selain itu, sejarawan Aswi Warman Adam, menyebarkan ide untuk meluruskan historiografi Indonesia.
Namun demikian, belakangan ini, memang terjadi arus balik dalam sejarah. Upaya untuk merevisi sejarah yang dilakukan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon dan timnya banyak memperoleh kritikan. Kritik muncul karena sejumlah isu yang beredar, misalnya, substansi mengenai gerakan perempuan, isu tentang peristiwa pemberontakan di daerah, hingga sejarah era kontemporer.
Sejarawan Asvi Warman Adam, misalnya, mengatakan bahwa proyek ambisius penulisan ‘sejarah resmi’ Indonesia yang digagas Kementerian Kebudayaan tidak memenuhi kaidah sebagai suatu produksi ilmu pengetahuan sejarah. Proyek ini hanya menghasilkan penggelapan sejarah bangsa.
"Penyebarluasannya akan berdampak luas bagi kesalahan berpikir generasi muda dan akan merugikan kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan."
Dia juga berkata: “Sejarah bukanlah monumen tunggal yang bisa dipahat oleh satu kekuasaan, dihasilkan dari suatu proyek politik, yang diragukan akuntabilitas dan kredibilitas metodenya,” kata Asvi, anggota AKSI dalam keterangan resmi yang diunggah di laman Amnesty Internasional.
Asvi-pun menyarankan supaya pemerintahan fokus untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang jumlahnya ada 12 agar tercipta sejarah baru yang menjadi rujukan publik. “Proses pembentukan sejarah lewat kebijakan negara melawan impunitas dengan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM lebih baik ketimbang melakukan penggelapan sejarah lewat proyek politik penulisan ulang sejarah,” imbuh Asvi.
Proyek Sejarah Fadli Zon
Adapun proyek revisi sejarah sendiri sedang berlangsung saat ini. Menariknya, motornya bukan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, melainkan Kementerian Kebudayaan yang dipimpin oleh Fadli Zon. Fadli adalah politikus Gerindra dan sudah lama dikenal dekat dengan Prabowo Subianto, jauh sebelum eks Komandan Jenderal Kopassus itu duduk di kursi kepresidenan.
Versi Fadli Zon, pemerintah sejatinya tidak akan banyak mengubah substansi sejarah yang sudah existing. Mereka hanya menyesuaikan dan menambahkan beberapa aspek dalam sejarah. Apalagi, menurut Fadli Zon ada beberapa temuan atau hasil riset terbaru mulai dari era prasejarah hingga kontemporer yang perlu dipertimbangkan untuk masuk dalam sejarah nasional Indonesia.
“Ada banyak temuan-temuan misalnya di era prasejarah, dan juga penambahan-penambahan pada masa pemerintahan yang lalu dan sebagainya. Ya semua yang perlu di update, kita update. Misalnya periode terakhir itu periode sebelum Pak SBY kalau enggak salah. Nanti tentu ditambahkan," kata Fadli di kompleks Istana Kepresidenan, 5 Mei 2025 lalu.
Sementara itu, terkait periode-periode sensitif seperti 1965, 1998, atau masa Reformasi, Fadli menegaskan bahwa pembaruan sejarah tidak dimaksudkan untuk menghapus atau memutarbalikkan fakta sejarah.
“Kalau 65 kan udah jelas saya kira, apalagi yang mau ditambahkan ya. Artinya sudah menjadi formal history dari dulunya ya periode itu sudah ada. 98 juga kan waktu itu sudah ditulis juga oleh Indonesia Dalam Arus Sejarah, nanti kita lihat," tegasnya.
Lebih lanjut, dia juga memastikan bahwa buku ini bukan merupakan buku pelajaran, melainkan buku acuan sejarah formal yang akan diluncurkan Agustus 2025 sebagai bagian dari perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia.
Menurutnya, penulisan ulang ini dipandang sebagai langkah penting dalam memperbarui narasi sejarah Indonesia yang lebih komprehensif, inklusif, dan berdasarkan temuan akademik terbaru. “Sebentar lagi selesainya, Agustus target kami [rampung]. Dan ini [bukan] untuk buku diluncurkan. Nanti itu menjadi semacam formal history kita,” jelas Fadli Zon.
Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, penulisan ulang sejarah Indonesia yang melibatkan sejarawan adalah langkah penting dan strategis dilakukan, selama dilakukan dengan niat ilmiah dan objektif.
Menurutnya, sejarah bukanlah sesuatu yang statis karena terus ditafsirkan ulang seiring bertambahnya data, sumber baru, dan cara pandang yang berkembang.
“Banyak narasi sejarah Indonesia yang selama ini ditulis dalam kerangka ideologi tertentu, kadang mengabaikan perspektif kelompok minoritas, daerah, atau tokoh-tokoh yang berseberangan secara politik dengan kekuasaan saat itu. Oleh karena itu, kami mendukung upaya menteri kebudayaan ini,” terangnya saat dikonfirmasi Bisnis, Minggu (11/5/2025).
Politikus PKB ini turut memandang penulisan ulang ini memungkinkan sejarah Indonesia terus dikaji ulang dengan pendekatan yang lebih kritis dan beragam. “Ini penting agar sejarah tidak menjadi alat pembenaran kekuasaan semata, melainkan menjadi cermin reflektif yang membimbing bangsa ke arah yang lebih baik dan dewasa secara politik dan budaya,” tuturnya.