Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Ratna Indriani, Budi W. Soetjipto

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: BBM, Etika, dan Megakorupsi

Peristiwa korupsi yang tengah diusut Kejagung di lingkup BUMN yang bergerak di sektor migas dinilai mencederai aspek bisnis dan hak publik.
Ratna Indriani, Budi W. Soetjipto
Senin, 19 Mei 2025 | 14:00
Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengusut sejumlah kasus dugaan korupsi./Bisnis
Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengusut sejumlah kasus dugaan korupsi./Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA — Baru-baru ini kita dikejutkan oleh kasus megakorupsi yang melibatkan para petinggi di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor migas. Disebut “mega” bukan hanya nilainya yang diduga mencapai ratusan triliun, tapi juga mata rantai korupsinya dari hulu ke hilir dan melibatkan banyak orang penting.

Kejaksaan Agung membeberkan mata rantai tersebut, mulai dari ekspor minyak mentah yang seharusnya dikonsumsi dalam negeri, impor minyak mentah dengan harga yang lebih tinggi namun ternyata memiliki kadar RON lebih rendah dari seharusnya, hingga blending minyak mentah yang memiliki RON tak sesuai tadi di kilang, agar diperoleh RON yang sesuai.

Saat tulisan ini dibuat, Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan tersangka dari kalangan petinggi BUMN migas tersebut dan perusahaan swasta yang diduga menjadi broker ekspor impor minyak mentah.

Kasus tersebut menggambarkan betapa mudahnya terjadi kongkalikong antara pengusaha dan pejabat BUMN atau pemerintah dengan mengabaikan etika bisnis. Paling tidak tiga dari lima prinsip kunci etika bisnis telah dilanggar oleh para pelaku mega korupsi.

Prinsip pertama adalah kejujuran dan integritas. Metsiou dan kawan-kawan (2024) mengatakan bahwa bisnis harus beroperasi dengan kejujuran dan integritas dan memastikan semua tindakan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan mengekspor minyak mentah yang seharusnya menjadi konsumsi dalam negeri, misalnya, para pelaku sudah berlaku tak jujur dan dan tak bertanggung jawab.

Prinsip kedua adalah kegiatan bisnis yang dilakukan dengan prinsip keadilan, di mana perusahaan memperlakukan semua pemangku kepentingan dengan adil dan setara.

Menggunakan istilah Alexiadou (2023), kasus megakorupsi mencederai para pemangku kepentingan karena biaya menghasilkan bahan bakar minyak (BBM) untuk konsumsi masyarakat menjadi lebih mahal.

Prinsip ketiga adalah tanggung jawab dan akuntabilitas, di mana bisnis memiliki tanggung jawab kepada pemangku kepentingan atas tindakan yang telah dilakukan, dan praktik bisnis dapat dipertanggungjawabkan kepada publik secara terbuka.

Di mata Breeze (2021), dapat dipastikan impor minyak mentah yang tak sesuai RON padahal harganya lebih mahal, tak bisa dipertanggungjawabkan secara terbuka, khususnya kepada para pemangku kepentingan eksternal.

Pelanggaran prinsip keempat yaitu menghormati hak dasar manusia yang menjunjung tinggi keberlangsungan lingkungan, dan kelima, yaitu bisnis yang beretika harus bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan dari prosesnya.

Kajian Etika Bisnis

Selain kelima prinsip di atas, kasus megakorupsi tersebut dapat ditinjau dari sisi sistem etika bisnis yang memberikan justifikasi apakah perilaku tertentu tergolong etis atau bermoral.

Baron (2020) mengungkapkan ada tiga sistem etika bisnis. Pertama, adalah sistem yang bersandar pada utilitarianisme (utilitarianism). Sistem ini berpandangan bahwa etika suatu tindakan diukur berdasarkan hasil atau akibat yang ditimbulkannya.

Apa dampak dari adanya megakorupsi tersebut? Apakah harga BBM menjadi lebih mahal dari seharusnya? Bagaimana dengan kualitas BBM? Belum lagi besarnya subsidi BBM yang harus dibayarkan pemerintah yang notabene adalah uang rakyat juga.

Kedua, dilihat dari sistem etika berdasarkan hak (rights). Sistem ini berfokus pada hak-hak mendasar yang melekat pada individu. Kasus megakorupsi itu melanggar hak individu masyarakat untuk memperoleh bbm yang berkualitas dengan harga yang semestinya. Apalagi pelanggaran yang dimaksud demi keuntungan segelintir elite tertentu.

Ada yang untung dan ada yang rugi juga menjadi fokus sistem etika ketiga yang berbasis keadilan (justice). Ada ketakadilan pada distribusi manfaat dan beban antarindividu di masyarakat.

Sebagian besar kelompok masyarakat harus menerima beban berupa harga BBM yang lebih tinggi dari seharusnya dengan kualitas yang menjadi tanda tanya, sedangkan sebagian kecil kelompok masyarakat menerima manfaat yang jauh di atas bebannya. Ketakadilan macam ini yang semakin memperparah ketimpangan sosial.

Hal yang juga menarik untuk dibahas adalah pendekatan yang disampaikan De Cremer dan Moore (2020) yang disebut behavioral business ethics. Pendekatan ini membagi dasar etika bisnis menjadi tiga level, yaitu intrapersonal, interpersonal, dan organisasi.

Pada level intrapersonal, faktor yang mempengaruhi perilaku etis individu meliputi proses kognitif atau penalaran dan motivasi, afektif atau emosi, identitas moral individu, dan karakteristik individu.

Pada level ini, perilaku tak etis dapat dikaitkan, umpamanya, dengan motivasi ekstrinsik individu untuk memperoleh manfaat finansial yang sangat besar sementara individu tersebut tak memiliki identitas moral yang jelas.

Pada level interpersonal, aspek kepemimpinan yang beretika, sensasi kekuasaan dan kekuatan bawahan menolak pengaruh atasan menjadi sangat penting.

Seseorang di dalam organisasi bisa dengan mudah berperilaku tak etis, misalnya, ketika ia melihat pemimpin atau atasannya juga berperilaku serupa atau bersikap tak peduli dengan perilaku tak etis bawahannya.

Jika individu tersebut berada di posisi puncak, seperti halnya dalam kasus megakorupsi di BUMN migas, besar kemungkinan ia dan eksekutif puncak lainnya telah terhanyut dalam sensasi kekuasaan yang seringkali membuat kita lupa daratan.

Dengan kekuasaan yang kita memiliki seolah kita memiliki dunia tanpa batas, sedangkan bawahan kita tak punya kemampuan untuk menolak keinginan dan perintah kita.

Menurut De Cremer dan Moore (2020), di tingkatan organisasi, yang lebih berperan adalah iklim etika serta sistem pengawasan dan kontrol dalam organisasi. Selain itu, tekanan dari pihak eksternal juga tak dapat diabaikan begitu saja.

Terjadinya perilaku tak etis dalam organisasi dapat diakibatkan oleh lemahnya iklim etika serta sistem pengawasan dan kontrol dalam organisasi tersebut. Terjadinya perilaku tak etis menuntut korporasi untuk melakukan asesmen ulang iklim etika serta sistem pengawasan dan kontrol perusahaan agar kasus serupa tak terjadi lagi di masa mendatang.

Tapi jangan lupakan pula pengaruh aktor-aktor eksternal perusahaan yang dengan kekuasaan dan kekuatan yang mereka miliki dapat mengiming-imingi dan bahkan memaksa pimpinan perusahaan untuk berperilaku tak etis.

Dalam kasus megakorupsi itu, terbukti ada pihak eksternal yang sudah menjadi tersangka. Dengan kata lain, perilaku tak etis, khususnya yang bersifat masif, hampir pasti melibatkan aktor-aktor eksternal organisasi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper