Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih mengkaji Undang-Undang (UU) No 1/2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di tengah polemik hilangnya status penyelenggara negara atas direksi hingga komisaris perusahaan pelat merah.
Pembahasan itu masih berlangsung hingga sepekan setelah kunjungan Menteri BUMN Erick Thohir dan jajarannya ke KPK pekan lalu. Keduanya bertemu guna membahas perubahan peraturan di UU BUMN yang berdampak pada upaya pencegahan maupun penindakan korupsi di perusahaan milik negara.
Anggota Tim Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan pembahasan UU No.1/2025 dan sejumlah pasalnya masih dalam tahap kajian internal lembaga. Utamanya soal kaitan dengan tugas, fungsi dan kewenangan lembaga antirasuah dalam melakukan sederet kegiatan pemberantasan korupsi di tubuh BUMN.
Apalagi, terdapat salah satu pasal baru yang mengatur soal direksi, komisaris maupun dewan pengawas BUMN bukan penyelenggara negara. Ada dugaan pasal tersebut bisa berdampak pada upaya penanganan kasus korupsi yang melibatkan pertinggi BUMN.
"Dalam melakukan kajian tersebut, KPK tentu juga akan melihat peraturan dan ketentuan lainnya seperti KUHAP, UU Tindak Pidana Korupsi, UU Keuangan Negara, dan sebagainya. Semua UU itu kemudian nanti akan dikaji oleh KPK untuk melihat seperti apa UU BUMN kaitannya dengan tugas, fungsi, dan kewenangan upaya pemberantasan korupsi oleh KPK, baik melalui pendekatan penindakan, pencegahan, ataupun pendidikan," jelas Budi kepada wartawan, dikutip Selasa (6/5/2025).
Lembaga antirasuah, terang Budi, saat ini pun masih terus melakukan berbagai upaya pencegahan dan pendidikan antikorupsi di dunia usaha. Tidak hanya BUMN.
Baca Juga
Budi mengaku pelaku usaha menjadi salah satu aktor atau pelaku korupsi terbanyak pada sejumlah perkara yang ditangani KPK.
"Oleh karena itu KPK memandang penting untuk melakukan intervensi-intervensi pencegahan korupsi, sehingga kita bisa betul-betul mendorong praktik-praktik bisnis yang berintegritas sehingga kita bisa mendorong penciptaan iklim bisnis yang bersih," ucapnya.
Aturan Turunan Status Penyelenggara Negara
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir mengaku berkoordinasi dengan berbagai lembaga untuk membahas sederet perubahan di tubuh perusahaan pelat merah menyusul lahirnya UU BUMN. Salah satunya mengenai posisi komisaris hingga direksi BUMN yang diatur bukan merupakan penyelenggara negara.
Erick menjelaskan kementeriannya saat ini masih berkoordinasi untuk menyinkronkan berbagai aturan baru di UU BUMN, termasuk mengenai status penyelenggara negara pada petinggi pelat merah. Dia menyebut koordinasi dilakukan salah satunya dengan KPK.
"Justru kenapa kita ada sinkronisasi dengan KPK, Kejaksaan, BPK, semua ini ya tadi, untuk supaya semuanya transparan, dan ada juklak-juklak daripada penugasan yang lebih ini," katanya kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (29/4/2025).
Lebih lanjut, Erick memastikan bakal ada peraturan turunan yang akan mendefinisikan lebih lanjut aturan mengenai status penyelenggara negara bagi komisaris-direksi BUMN sebagaimana tertuang di dalam UU.
Menurutnya, beleid tersebut belum sepenuhnya dijalankan dan masih dirapikan sebelum seutuhnya diterapkan.
"Iya pasti, ini kan namanya baru lahir. Baru lahir, belum jalan. Justru kita rapikan sebelum jalan, daripada nanti ikut geng motor tabrak-tabrakan, mendingan kita rapikan," kata pria yang merangkap sebagai Ketua Dewan Pengawas Danantara itu.
Erick memastikan upaya sinkronisasi definisi soal status penyelenggara negara atas komisaris-direksi BUMN itu akan terus dilakukan. Dia enggan berkomentar lebih lanjut.
"Iya itu UU-nya ada definisinya, tapi tentu ini yang kita harus sinkronisasi. Saya tidak mau terlalu mendetailkan, nanti ada perbedaan persepsi yang jadi polemik baru. Nah ini yang kita tidak mau, kenapa sejak awal kita langsung rapatkan," terang Menteri BUMN sejak 2019 itu.
Berdasarkan catatan Bisnis, rancangan Revisi Undang-undang No.19/2003 tentang BUMN versi DPR menegaskan bahwa Badan Pengelola Investasi Danantara serta Direksi, Komisaris, hingga Dewan Pengawas BUMN bukan bagian dari rumpun penyelenggara negara. Ketentuan mengenai status kepegawaian Badan tercantum dalam Pasal 3 Y RUU BUMN.
Sementara itu, ketentuan yang mengatur mengenai status Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan penyelenggara negara diatur secara eksplisit dalam Pasal 9G.
Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: "Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara."
Adapun, Pasal 87 angka 5 menyatakan bahwa pegawai BUMN juga bukan penyelenggara negara. Namun demikian, aturan itu hanya melekat kepada mereka yang diangkat hingga diberhentikan sesuai dengan peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Di sisi lain, untuk komisaris atau dewan pengawas yang berasal dari penyelenggara negara, statusnya sebagai penyelenggara tetap melekat.
Menariknya, ketentuan mengenai status kepegawaian karyawan hingga direksi BUMN bersifat lex specialist, kecuali ketentuan lainnya terkait penyelenggara negara yang tidak diatur dalam RUU BUMN.
Itu artinya tidak ada celah dari undang-undang lain untuk mengintervensi status BUMN bukan sebagai penyelenggara negara.
Ketentuan tersebut juga berlaku terhadap UU No.28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), terutama Pasal 2, yang mengkategorikan pegawai BUMN sebagai penyelenggara negara. Aturan inilah yang sering menjadi rujukan penegak hukum untuk menindak oknum di BUMN.