Bisnis.com, JAKARTA — Badai pemutusan hubungan kerja alias PHK terus menghantui pekerja di Indonesia. Pada perayaan Hari Buruh Internasional kemarin, misalnya, ratusan pekerja di sektor komunikasi dan informasi, mengalami PHK massal. Peristiwa itu menunjukkan, bahwa kondisi ketenagakerjaan di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Sekadar catatan, sampai dengan Februari 2025 lalu, jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaannya mencapai 18.610 atau naik 459,6% dibandingkan posisi Januari 2025 yang sebanyak 3.325. Sementara itu, jika dibandingkan dengan Februari 2024 yang tercatat sebanyak 7.694 pekerja, angka kenaikannya hampir menembus 200%.
Adapun wilayah Jawa Tengah, menjadi penyumbang jumlah pekerja yang kena PHK paling banyak. Totalnya mencapai 57,37% atau 10.677 pekerja. Tingginya angka PHK di Jateng disebabkan oleh sejumlah faktor, salah satunya PHK massal di raksasa tekstil, PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) alias Sritex.
Sementara itu, data Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) menyebut bahwa sekitar 23.000-an pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang Januari-awal April 2025.
Presiden KSPN Ristadi menyampaikan, total korban PHK itu berasal dari sekitar 18 perusahaan dan sebagian besar pekerja yang di PHK merupakan anggota KSPN. “Data dari KSPN sampai awal April, data kami sekitar 23.000-an ya [yang ter-PHK] itu memang mayoritas anggota kami saja yang mengalami PHK dari sekitar 18 perusahaan,” kata Ristadi kepada Bisnis, belum lama ini.
Ristadi mengungkap, kasus PHK paling banyak terjadi di sektor padat karya, utamanya di wilayah Jawa Tengah. Dia memperkirakan, tren PHK masih akan terus terjadi kedepannya, bahkan berpeluang memakan lebih banyak korban.
Baca Juga
Menurutnya, kondisi ini kian diperparah seiring adanya efek domino dari kebijakan tarif timbal balik yang diterapkan oleh Amerika Serikat (AS). Dia menjelaskan, Indonesia perlu mewaspadai ‘muntahan’ produk impor berharga murah.
“Ini yang sebetulnya akan lebih membahayakan, mengancam eksistensi industri produsen dalam negeri kita,” ujarnya.
Satgas PHK Sampai Mana?
Sementara itu, pemerintah sedang membahas aturan untuk pembentukan Satuan Tugas alias Satgas PHK. Presiden Prabowo Subianto bahkan telah secara spesifik menyebut Satgas PHK sebagai salah satu kado kepada buruh pada peringatan May Day kemarin.
Prabowo menyebut Satgas Buruh menjadi satu dari 3 kebijakan pro buruh yang akan dikeluarkan oleh pemerintahan dalam waktu dekat. Selain Satgas, adapula rencana membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional hingga percepatan pengesahan sejumlah undang-undang yang menyentuh langsung kehidupan pekerja.
“Saya ingin memberi hadiah kepada kaum buruh pada hari ini. Saya akan segera membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional,” ujar Prabowo dalam sambutannya saat menghadiri May Day di kawasa Monas, Jakarta, Kamis (1/5/2025).
Dewan tersebut, kata Prabowo, akan terdiri dari tokoh-tokoh serikat buruh dari seluruh Indonesia dan akan bertugas memberi nasihat langsung kepada Presiden mengenai peraturan perundangan yang tidak berpihak kepada pekerja.
Sementara itu, merespons masukan dari tokoh-tokoh buruh nasional seperti Said Iqbal dan Jumhur Hidayat, Prabowo juga mengumumkan pembentukan satuan tugas khusus untuk menangani kasus pemutusan hubungan kerja atau Satgas PHK.
“Kami tidak akan membiarkan pekerja di-PHK seenaknya. Bila perlu, negara akan turun tangan,” tegasnya.
Adapun Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengatakan pihaknya tengah merampungkan konsep pembentukan Satgas PHK bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) dan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg).
“Kami bersama Kemenko Ekonomi dan Kemensesneg sedang finalisasi konsep Satgas PHK,” kata Yassierli kepada Bisnis, Rabu (30/4/2025).
Untuk diketahui, Satgas PHK dibentuk untuk memantau dan mengantisipasi kemungkinan lonjakan pemutusan hubungan kerja, terutama di sektor-sektor strategis yang menyerap banyak tenaga kerja.
Di sisi lain, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyampaikan peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 2025 akan dipusatkan di Lapangan Monas, Jakarta, pada 1 Mei 2025.
Said memperkirakan acara ini akan dihadiri lebih dari 200.000 buruh beserta keluarga, serta masyarakat luas yang ingin bergabung dalam gelombang solidaritas kelas pekerja.
Said menjelaskan bahwa May Day tahun ini setidaknya membawa enam isu utama yang menjadi harapan buruh Indonesia. Pertama, hapus outsourcing. Kedua, membentuk Satgas PHK.
Ketiga, mewujudkan upah yang layak. Keempat, lindungi buruh dengan mengesahkan RUU Ketenagakerjaan baru. Kelima, lindungi pekerja rumah tangga dengan mengesahkan RUU PPRT. Keenam, berantas korupsi dan sahkan RUU Perampasan Aset.
“May Day bukan sekadar perayaan, melainkan panggung untuk menyuarakan keadilan sosial dan hak-hak pekerja. Keenam isu ini merupakan cermin dari kebutuhan nyata buruh Indonesia,” imbuhnya.
Ketar-ketir Dampak PHK
Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyoroti tiga dampak utama yang bakal mencuat apabila tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus meningkat sepanjang tahun ini.
Ketua Umum (Ketum) Apindo, Shinta W. Kamdani menjelaskan bahwa tren PHK yang belakangan meningkat didorong oleh sejumlah faktor, mulai dari menurunnya permintaan, tingginya biaya logistik, hingga meningkatnya Upah Minimum Provinsi (UMP).
“Kenaikan biaya produksi, kenaikan UMP yang cukup signifikan, serta tekanan dari kompetitor di negara lain yang memiliki biaya tenaga kerja lebih rendah, serta pergantian regulasi ketenagakerjaan yang terlalu sering juga menciptakan ketidakpastian,” jelasnya kepada Bisnis, Kamis (1/5/2025).
Alhasil, PHK menjadi salah satu jalan terakhir yang dipilih oleh para pelaku usaha. Meskipun pada dasarnya para pelaku usaha bakal berupaya keras untuk menghindari langkah tersebut selama masih memungkinkan.
Apindo memproyeksi setidaknya terdapat 3 dampak utama yang dapat terjadi apabila angka PHK terus meningkat. Pertama, konsumsi rumah tangga bakal mengalami pelemahan. Alasannya, karena berkurangnya daya beli dari keluarga terdampak.
“Ini penting [jadi perhatian], karena konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% terhadap PDB Indonesia,” tegas Shinta.
Kedua, PHK tersebut bakal meningkatkan angka pengangguran terbuka, yang dapat berdampak pada stabilitas sosial-ekonomi jika tidak ditangani dengan tepat.
Ketiga, akan menekan kepercayaan investor, baik domestik maupun asing, karena muncul persepsi ketidakstabilan pasar tenaga kerja dan lemahnya permintaan domestik.
“Oleh karena itu, isu PHK tidak bisa dilihat semata-mata sebagai masalah hubungan industrial, tetapi sebagai indikator tekanan struktural dalam ekonomi yang perlu respons lintas sektor,” pungkasnya.