Bisnis.com, JAKARTA -- Ada momen menarik ketika Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato di depan parlemen Turki. Prabowo mengungkapkan kekagumannya terhadap sosok Mustafa Kemal Ataturk dan Sultan Mehmed Al Fatih atau Mehmed Sang Penakluk.
Mustafa Kemal adalah bapak bangsa Turki modern. Dia merupakan seorang pemimpin militer yang berhasil mengembalikan 'kejayaan' bangsa Turki, mengusir para penjajah hingga membentuk negara Turki modern seperti saat ini. Hanya saja, bentuk negaranya bukan kekhalifahan seperti Ottoman atau Usmaniah, melainkan negara modern dengan prinsip sekulerisme.
Sementara itu, Mehmed Al Fatih merupakan salah satu simbol kejayaan bangsa Turki. Dia adalah Sultan Ottoman ketujuh. Selama pemerintahannya, Mehmed banyak menaklukan wilayah Eropa Tenggara atau Balkan. Serbia hingga Bosnia dikuasai.
Namun, salah satu penaklukan yang paling banyak dikenang dalam sejarah peradaban Islam maupun sejarah Barat adalah pengepungan dan penaklukan Konstantinopel. Penaklukan tersebut, mengakhiri eksistensi Kekaisaran Bizantium atau Romawi Timur, yang telah ada lebih dari 1000 tahun. Kaisar terakhir Romawi Timur, Konstatinus XI, ikut tewas dalam peristiwa ini.
"Saudara-saudara yang saya hormati, saya sendiri secara pribadi adalah pengagum sejarah Turki, saya belajar tentang sejarah Turki, saya diinspirasi oleh sejarah Turki, oleh sejarah suadara-saudara sekalian. Pahlawan saya icon saya adalah Mustafa Kemal Atartuk dan Mehmed Sang Penakluk," katanya dalam forum itu.
Prabowo bahkan mengungkapkan memiliki patung Mustafa Kemal Atartuk yang dipajang di kantornya. "Kalau saudara datang ke kantor saya di Jakarta kalau saudara datang ke rumah saya di Jakarta, ada patung Mustafa Kemal Atartuk, di kantor saya di rumah saya," ucapnya.
Baca Juga
Menurut Prabowo bagi negara-negara yang sedang berkembang, Mustafa Kemal adalah sebuah icon, sebuah contoh keberanian, contoh kepemimpinan, contoh patriotisme, contoh semangat tidak mengenal menyerah.
"Sudara-saudara sekalian, karena itu dunia saat ini keadaan geopolitik saat ini di dunia menurut pendapat saya memerlukan kepemimpinan yang sama, kepemimpinan penuh keberanian, kepemimpinan penuh kearifan, seperti tergambar di sosok Mustafa Kemal," pungkas Prabowo.
Pidato Prabowo yang menyanjung Mustafa Kemal menjadi bahan perdebatan di Turki. Ada pro dan kontra. Apalagi, belakangan ini tensi politik Turki sedang mendidih akibat penangkapan lawan politik, Recep Tayyib Erdogan.
Yang menarik lagi, pidato Prabowo tentang Mustafa Kemal itu disampaikan di Parlemen Turki yang notabene didominasi oleh Partai Keadilan dan Pembangunan atau AKP. Partai pendukung Erdogan yang dikenal konservatif, terutama terkait keagamaan.
Turki di bawah Erdogan memang berusaha menampilkan perannya di dalam dunia Islam. Salah satu kebijakan Erdogan yang memicu kontroversi dan protes keras dari Yunani adalah pengembalian fungsi Hagia Sophia sebagai masjid.
Bung Karno dan Mustafa Kemal
Tidak hanya Prabowo, Mustafa Kemal juga telah menjadi sumber inspirasi proklamator sekaligus Presiden pertama Indonesia, Sukarno atau Bung Karno, dalam menggagas bentuk negara Indonesia.
Indonesia dan Turki sendiri memiliki kemiripan. Mayoritas penduduknya secara formal beragama Islam. Namun demikian, secara konstitusi, keduanya bukan negara teokrasi. Indonesia dan Turki adalah negara demokrasi dan sekuler. Artinya ada pemisahan antara kehidupan bernegara dengan kehidupan keagamaan.
Bung Karno bahkan mengulas secara khusus sosok Mustafa Kemal dan nasionalisme Turki dalam bukunya yang legendaris Di Bawah Bendera Revolusi.
Bung Karno mengemukakan bahwa, nasionalisme dan sekuralisme Turki telah memberikan contoh yang paling sempurna, bagaimana kehidupan negara dan agama harus dipisahkan. Pemisahan agama itu bukan berarti membenamkan agama dan membuangnya dari diskursus publik.
Sekularisme Turki justru ingin memurnikan agama, supaya agama tidak lagi diatur-atur atau digunakan oleh segelintir orang untuk melanggengkan kekuasaannya seperti periode Ottoman dulu. Konsep inilah yang membuat Turki mampu bertahan sampai sekarang.
Tidak bisa dibayangkan jika Turki masih dikuasai wangsa Ottoman. Agama akan menjadi bagian dari kekuasaan raja dan para pejabat di sekelilingnya. Mana kepentingan raja, negara, dan agama akan sulit dibedakan.
Dalam posisi ini, Mustafa adalah seorang pembebas. Dia menempatkan Turki dalam jalan yang 'tepat' pada waktu itu dan berhasil membangun kebanggaan bangsa Turki yang nyaris hancur karena kalah perang.
Wajar dengan sepak terjangnya, Mustafa Kemal tetaplah seorang tokoh besar. Ketika banyak orang menghujatnya habis-habisan, bangsa Turki tetap menghargai jasa Mustafa Kemal Atatürk yang artinya memang “Bapak Bangsa Turki”.
Jasa Mustafa Kemal kepalang besar dibandingkan citra buruk yang dideskripsikan dalam banyak narasi yang beredar di kalangan pihak tertentu. Apalagi, Mustafa Kemal adalah pemimpin gerakan nasionalis Turki.
Tanpa Türk Ulusal Hareketi atau Gerakan Nasional Turki, wilayah eks Ottoman di Anatolia & Trakia Timur hampir pasti menjadi bagian negara lain, Yunani terutama. Jika itu terjadi, Hagia Sophia bakal balik menjadi gereja Ortodoks. Erdogan ujung-ujungnya tidak bisa nebeng popularitas dengan mengubah Hagia Sophia menjadi masjid seperti saat ini.
Sayangnya, banyak pihak memahami sejarah secara parsial. Mereka kerap terjebak pada romantisme sejarah yang bergelimang kejayaannya. Hasilnya, banyak orang lupa daratan, bias dan enggak kontekstual.
Padahal, Ottoman abad XIX & awal abad XX berbeda dengan Ottoman abad 15 yang masyhur dengan pasukan Janissary yang kuat. Ottoman adalah The Sick Man, pesakitan Eropa yang bukan saja kalah dalam banyak peperangan, juga tertinggal dari sisi ilmu pengetahuan.
Nasib Ottoman makin tak menentu pasca Perang Dunia I. Sebagai bagian dari Blok Sentral yang kalah perang, Ottoman harus merelakan wilayahnya yang luas dibagi-bagi dan diduduki oleh blok pemenang perang. Inggris mengambil kawasan Arab. Sementara sebagian Anatolia dikuasai Prancis & Yunani.
Beruntung Turki punya Mustafa Kemal dan Türk Ulusal Hareketi yang kemudian melancarkan perang kemerdekaan Turki. Mereka mampu mengkonsolidasikan kekuatan yang tercerai-berai. Merebut setiap jengkal wilayah yang dikuasai Yunani dan Prancis.
Hasilnya, pada Juli 1923 perjanjian Lausanne ditandatangani, Yunani & sekutu kalah perang. Mereka hengkang dari wilayah Anatolia dan Thrace Timur diikuti oleh pertukaran populasi muslim Turki dan Ortodoks Yunani.
Negara Turki kemudian terbentuk, hanya jalannya bukan lagi negara konservatif seperti Ottoman, tetapi Turki modern dengan nilai sekular seperti sekarang ini. Mustafa Kemal kemudian diketahui sebagai presiden yang pertama dengan gelar Atatürk atau Bapak Bangsa Turki.
Jalan sekular Turki menjadi inspirasi Sukarno dan tokoh pergerakan lainnya dalam merumuskan konsep negara. Meskipun kalau dicermati, langkah yang diambil para pendiri negara tidak seekstrem Turki yang secara tegas memisahkan negara dengan agama.
Paling tidak dalam Pancasila, para pendiri negara tetap sepakat untuk menempatkan Ketuhanan yang Maha Esa di sila pertama.