Bisnis.com, JAKARTA - Pulau Jawa masih menjadi lumbung pangan, khususnya beras, di tengah konversi besar-besaran lahan pertanian akibat pembangunan infrastruktur dan gembar-gembor industrialisasi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan bahwa produksi beras di Pulau Jawa berada di kisaran 16,35 juta ton atau 53,4% dari total produksi beras nasional selama tahun 2024 yang tercatat mencapai 30,6 juta ton.
Kendati masih menjadi penopang produksi beras nasional, namun secara jumlah produksi beras di Pulau Jawa mengalami pengusutan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2023, produksi beras di 5 provinsi utama di Pulau Jawa, tercatat sebanyak 17,35 juta ton atau 55,7% dari produksi nasional sebanyak 31,1 juta ton.
Artinya jika dibandingkan jumlah produksi beras antara tahun 2024 dan tahun 2023 terjadi penurunan produksi sebesar 480.000 ton atau menyusut sebesar 1,5%.
Dalam catatan BPS, pemicu turunnya produksi beras tidak bisa dilepaskan dari jumlah luas panen yang juga mengalami penyusutan. Pada tahun 2024, hampir semua provinsi penghasil padi mengalami penurunan luas panen padi.
Total luas panen padi secara nasional sebanyak 10,05 juta hektare dengan produksi padi sebanyak 53,14 juta ton pada tahun 2024. Padahal pada tahun sebelumnya, luas panen padi mencakup lahan seluas 10,21 juta hektare dengan total produksi padi sebanyak 53,98 juta ton.
Baca Juga
Beras Pemicu Kemiskinan
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) juga telah merilis data terbaru mengenai tingkat kemiskinan di Indonesia. Secara umum kemiskinan memang turun. Persentasenya di angka 8,57%.
Turunnya angka kemiskinan, tidak serta merta disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia mulai sejahtera. Apalagi, jika dicermati, naik turunnya angka kemiskinan itu dipicu oleh sejumlah faktor, salah satunya adalah baseline yang digunakan BPS untuk menentukan orang itu miskin, menengah, atau berpenghasilan tinggi.
BPS mematok baseline pengeluaran masyarakat yang masuk kategori hidup di garis kemiskinan senilai Rp566.655 untuk wilayah pedesaan dan Rp615.763 di perkotaan per kapita per bulan. Alhasil, nilai rata-rata garis kemiskinan per September 2024, sebesar Rp595.242. Angka itu naik 2,11% dibandingkan Maret 2024 yang hanya tercatat sebesar Rp582.932.
Namun demikian, jika memakai standar yang ditetapkan oleh Bank Dunia, sebesar US$2,15 per hari, angka kemiskinan Indonesia akan lebih tinggi dibandingkan yang dipaparkan oleh BPS belum lama ini.
Sekadar ilustrasi, jika menerapkan standar Bank Dunia di angka US$2,15. Warga Indonesia yang memiliki pengeluaran di bawah US$65,39 atau Rp1,04 juta seharusnya masuk kategori kemiskinan ekstrem. Itu artinya, jumlah orang yang masuk kategori miskin akan lebih banyak lagi dibanding angka versi BPS. Ada yang bilang 40% dari populasi.
Terlepas dari standar mana yang dipakai, BPS juga memaparkan fakta bahwa makanan menyumbang kemiskinan dibandingkan barang non makanan. Di perkotaan, misalnya, masyarakat miskin menghabiskan 73,5% dari total pengeluarannya untuk makanan.
Sementara itu, orang pedesaan persentasenya lebih banyak lagi. Mereka menghabiskan lebih dari 75% dari total pengeluarannya untuk makanan.
Adapun beras adalah komoditas makanan yang paling banyak menyumbang kemiskinan. Di perkotaan, masyarakat yang hidup di garis kemiskinan mengalokasikan 21,01% pengeluarannya untuk membeli beras. Sedangkan di pedesaan lebih tinggi lagi, sebanyak 24,93%.
Beras adalah makanan pokok utama masyarakat Indonesia. Data itu menginformasi bahwa mayoritas pengeluaran orang yang hidup di garis kemiskinan digunakan untuk mengonsumsi kebutuhan pokok.
Konsumsi Beras Thailand
Adapun sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) juga melaporkan, Indonesia setidaknya telah memasok beras impor sebanyak 4,52 juta ton sepanjang 2024. Volume tersebut mengalami peningkatan sebesar 47,7% dibanding impor beras tahun lalu yang mencapai 3,06 juta ton.
Tercatat, total 4,52 juta ton beras impor tersebut didominasi oleh semi-milled or wholly milled rice, whether or not polished or glazed, other than hs code 10063030 to 10063091 di mana komoditas dengan HS 10063099 ini tercatat masuk ke Indonesia sebanyak 3,9 juta ton.
“Impor beras sepanjang 2024 adalah sebesar 4,52 juta ton pada 2024,” kata Plt Kepala BPS, Ibu Amalia Adininggar Widyasanti dalam Rilis BPS, Rabu (15/1/2025).
Berdasarkan paparan yang disampaikan Amalia, impor beras di 2024 merupakan yang tertinggi sejak 2019. BPS mencatat di 2019, impor beras hanya mencapai 444.510 ton. Jumlah tersebut turun menjadi 354.290 ton di 2020.
Meski sempat menurun, impor beras sedikit mengalami peningkatan di 2021 menjadi 407.740 ton dan terus naik di 2022 yang tercatat sebesar 429.210 ton.
Di 2023, impor beras melonjak. Tercatat, impor beras di 2023 mencapai 3,06 juta ton atau naik 613% dari tahun sebelumnya yang hanya 429.210 ton. Jumlah itu terus meningkat di 2024.
Menurut asal negaranya, Amalia mengungkap bahwa Thailand menjadi negara utama importir beras ke Indonesia pada 2024 dengan volume mencapai 1,36 juta ton atau mencakup 30,19% dari total impor beras.
Di bawah Thailand, ada Vietnam dengan volume impor beras mencapai 1,25 juta ton sepanjang 2024 atau 27,62% dari total impor beras. Posisi selanjutnya, ada Myanmar dan Pakistan di mana masing-masing melakukan importasi sebanyak 832.380 ton dan 803.840 ton di 2024.
Posisi kelima adalah India di mana sepanjang 2024, BPS mencatat bahwa volume impor beras ke Indonesia mencapai 246.590 ton atau mencakup 5,46% dari total impor beras.