Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah mewajibkan devisa hasil ekspor (DHE) sebesar 100% disimpan di dalam negeri mulai 1 Maret 2025.
Sebagai gambaran, pemerintah sebelumnya mengatur bahwa retensi atau penahanan DHE sebesar 30% dengan jangka waktu minimal tiga bulan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memaparkan, usai bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto mengenai hal tersebut, bahwa ada sejumlah instrumen insentif yang akan diberikan pemerintah hingga Bank Indonesia (BI) atas kebijakan anyar tersebut.
"Jadi terkait dengan devisa hasil ekspor itu diberlakukan sebesar 100% untuk periode 1 tahun. Dan untuk itu, pemerintah dan BI mempersiapkan fasilitas yang berupa tarif PPh 0% atas pendapatan bunga pada instrumen penempatan DHE. Kalau reguler biasanya kena pajak 20%, tapi untuk DHE 0%," ujarnya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (21/1/2025).
Selain pembebasan tarif PPh, para eksportir dapat memanfaatkan instrumen penempatan DHE sebagai agunan back-to-back kredit rupiah dari bank maupun Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) untuk kebutuhan rupiah di dalam negeri. Selanjutnya, terkait dengan underlying transaksi swap antar nasabah dan perbankan, eksportir dapat memanfaatkan instrumen swap dengan perbankan dalam hal memiliki kebutuhan rupiah untuk kegiatan usahanya.
Kemudian, untuk foreign exchange swap antara perbankan dan BI, eksportir dapat meminta bank untuk mengalihkan valas DHE yang dimiliki eksportir menjadi swap jual BI dalam hal eksportir membutuhkan rupiah untuk kegiatan usaha di dalam negeri. "Nah, bagian dari penyediaan dana yang dijamin oleh agunan, termasuk agunan berbentuk cash collateral, giro, deposit, tabungan, ini memenuhi persyaratan tertentu dikecualikan dari BMPK (batas maksimal pemberian kredit)," papar Airlangga.
Baca Juga
Uang 'Lari' ke Singapura
Dalam catatan Bisnis, Singapura, Amerika Serikat, dan China menjadi tempat tujuan aliran uang asal Indonesia. Namun demikian, Singapura tetap menjadi tujuan utama kalau merujuk kepada data transaksi asal Indonesia selama 2024.
Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan alias PPTAK mencatat bahwa jumlah tranfer dana dari Indonesia ke Singapura mencapai Rp4.806,3 triliun selama tahun 2024. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain, salah satunya AS.
Dalam catatan Bisnis, nilai transfer dana keluar dari Indonesa ke AS hanya di angka Rp1.447,9 triliun atau sebesar 30% dari nilai tranfer dana ke Singapura. Sementara itu, jika menghitung angka tranfer ke China, jumlahnya lebih kecil lagi.
Data PPATK memaparkan bahwa transfer dana dari Indonesia ke China senilai Rp931,8 triliun. Nilai transfer tersebut hanya sebesar 19,3% dari nilai transfer dana RI ke Singapura.
Adapun jika digabungkan, nilai transfer dana dari Indonesia ke 3 negara tersebut mencapai Rp7.186 triliun.
Sementara itu, jika melihat timeline alias waktu transaksinya, lonjakan transfer dana dari Indonesia ke Singapura terjadi pada bulan April dan Mei 2024. Pada bulan April, nilai transfer dana ke negeri Singa mencapai Rp923,6 triliun. Angka ini melonjak lebih dari 373,6% dari bulan Maret 2024 yang tercatat sebesar Rp195 triliun.
Sementara itu pada bulan Mei 2024, lembaga intelijen keuangan merekam nilai transfer dana dari Indonesia ke Singapura bahkan menembus angka Rp1.792,5 triliun.
Sejauh ini PPATK belum memaparkan secara terperinci mengenai anomali transaksi transfer dana dari Indonesia ke Singapura pada bulan tersebut.
Singapura Sangat Berisiko
Dalam catatan Bisnis, Singapura masih menjadi tempat tujuan hasil pencucian uang hasil kejahatan siber dari Indonesia.
Hal itu terungkap dalam kajian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) berjudul Penilaian Risiko Sektoral Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme Pada Tindak Pidana Siber Tahun 2024.
Laporan itu memaparkan bahwa responden PPATK sepakat bahwa Singapura adalah salah satu negara paling berisiko sebagai negara transit dan tujuan dana TPPU dari dan ke Indonesia. Responden PPATK berasal dari lembaga pengawas, penegak hukum, kementerian, dan pelapor. Total ada 36 responden.
Lembaga intelijen keuangan itu kemudian menyebut 5 alasan Singapura menjadi wilayah paling berisiko dibanding yang lain. Pertama, pusat keuangan regional dengan peraturan perbankan yang relatif longgar dan terbuka terhadap modal asing.
Kedua, lokasinya tidak jauh dari Indonesia. Ketiga, memiliki layanan keuangan digital yang sudah maju. Keempat, belum memiliki aturan yang mewajibkan perusahaan mengungkapkan pemilik manfaat beneficial ownership.
Kelima, melegalkan perjudian. Menurut kajian PPTAK, pada umumnya dana hasil kejahatan siber digunakan untuk tindak pidana perjudian. Keenam, tindak pidana siber Singapura menggunakan nominee atau shell company di Indonesia.
Selain Singapura, kajian PPATK juga menyebut negara lainnya yang juga berisiko sebagai negara tujuan maupun asal TPPU kejahatan siber asal Indonesia. Negara tersebut antara lain, Amerika Serikat, Hong Kong, China, India dan Malaysia.