Bisnis.com, JAKARTA -- Politikus sayap kanan Prancis, Jean-Marie Le Pen, meninggal dunia di usia 96 tahun pada Selasa (7/1/2025) kemarin. Kematian pendiri Partai Front Nasional yang dikenal anti-imigran dikonfirmasi oleh putrinya, Marine Le Pen.
Le Pen adalah tokoh penting dalam politik Prancis. Selama hidupnya, dia dikenal sebagai tokoh penuh kontroversi karena sejumlah pernyataannya yang memicu kebencian rasial. Kontroversi Le Pen, diwarisi oleh anaknya, Marine Le Pen.
Salah satu isu yang memicu kemarahan publik Prancis adalah pertanyaan Le Pen mengenai Holocaust dan kamar gas Nazi di Auschwitz yang selama Perang Dunia ke 2 menewaskan jutaan orang Yahudi.
"Jika Anda membaca buku setebal seribu halaman tentang Perang Dunia Kedua, yang menewaskan 50 juta orang, kamp konsentrasi hanya menempati dua halaman dan kamar gas hanya menempati sepuluh atau 15 baris, dan itulah yang disebut detail," kata Le Pen pada akhir tahun 1990-an, sebagaimana dilansir dari Reuters, Rabu (8/1/2025).
Presiden Prancis Emmanuel Macron pun mengomentari kematian Le Pen. Macron menganggap tokoh sayap kanan itu sebagai sosok yang memilki banyak sejarah. "Ia memainkan peran dalam kehidupan publik negara kita selama hampir tujuh puluh tahun, yang sekarang menjadi bahan penilaian sejarah."
Adapun Le Pen sendiri pernah maju sebagai calon presiden Prancis. Dia bahkan pernah mencapai mencapai putaran kedua pemilihan presiden pada tahun 2002 tetapi kalah telak dari Jacques Chirac.
Baca Juga
Namun demikian, Le Pen juga dianggap sebagai momok bagi Uni Eropa. Dia merupakan simbol dari ambisi proyek supranasional yang merampas kemerdekaan negara-negara bangsa, memanfaatkan jenis kebencian yang dirasakan oleh banyak warga Inggris yang kemudian memilih untuk meninggalkan UE.
Profil Le Pen
Lahir di Brittany pada tahun 1928, Jean-Marie Le Pen belajar hukum di Paris pada awal tahun 1950-an dan memiliki reputasi jarang menghabiskan malam di kota tanpa perkelahian.
Dia bergabung dengan Legiun Asing sebagai pasukan terjun payung yang bertempur di Indochina pada tahun 1953.
Le Pen juga tampil sebagai tokoh berkampanye supaya Aljazair tetap menjadi wilayah Prancis. Dia bahkan secara terbuka membenarkan penggunaan penyiksaan tetapi menyangkal penggunaan praktik tersebut sendiri.
Setelah bertahun-tahun berada di pinggiran politik Prancis, peruntungannya berubah pada tahun 1977 ketika seorang jutawan mewariskannya sebuah rumah besar di luar Paris dan 30 juta franc, sekitar 5 juta euro ($5,2 juta) dalam nilai mata uang saat ini.
Hal itu membantu Le Pen untuk mencapai ambisi politiknya, meskipun partai-partai tradisional tidak menaruh simpati kepadanya. "Banyak musuh, sedikit teman, dan banyak kehormatan," katanya kepada situs web yang terkait dengan sayap kanan. Ia menulis dalam memoarnya: "Tidak ada penyesalan."
Karier politik Le Pen semakin melejit dengan mengekploitasi ketidakpuasan kelas pekerja kulit putih atas imigrasi dan kebencian terhadap elite bisnis dan politik yang berbasis di Paris. Popularitas Le Pen, membuat suara Front Nasional melonjak dalam pemilihan lokal, regional, dan kemudian Eropa.
Menariknya, eksistensi Le Pen, kemudian memicu partai-partai tradisional berusaha untuk memenangkan kembali pemilih dengan pembicaraan yang lebih keras tentang imigrasi. Taktik itu membantu Nicolas Sarkozy yang konservatif mengamankan kursi kepresidenan pada tahun 2007, dan bersikap keras terhadap kejahatan.
Pada tahun 2011, Le Pen digantikan sebagai ketua partai oleh putrinya Marine, yang berkampanye untuk menghilangkan citra partai yang bertahan lama sebagai antisemit dan mengubahnya menjadi partai pembela kelas pekerja.
Perubahan nama tersebut tidak disambut baik oleh ayahnya, yang pernyataan-pernyataan menghasut dan sindirannya memaksanya untuk mengeluarkannya dari partai.
Jean-Marie Le Pen menggambarkan keputusan putrinya untuk mengubah nama partai pada tahun 2018 menjadi National Rally sebagai sebuah "pengkhianatan", dan mengatakan bahwa putrinya harus menikah untuk menghilangkan nama keluarganya.
Hubungan mereka tetap sulit, tetapi ia menyampaikan kata-kata hangat untuk putrinya ketika Macron mengalahkannya pada tahun 2022: "Ia melakukan semua yang ia bisa, ia melakukannya dengan sangat baik."