Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengenang pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 7% hingga 8% hanya terjadi di era kepemimpinan Soeharto.
Sementara itu, sejak Soeharto jatuh, perekonomian Indonesia sulit untuk beranjak ke angka 7% apalagi 8% seperti yang ditargetkan oleh presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Sejauh ini pertumbuhan ekonomi paling tinggi pasca Soeharto terjadi pada era SBY yakni 6,3% pada 2007 lalu. Adapun pada era Jokowi ekonomi rata-rata hanya tumbuh di kisaran 4,23%.
“Dalam 50 tahun sejarah Indonesia, pertumbuhan tertinggi sebenarnya dicapai pada tahun 1990-an ketika kita mampu mencapai sekitar 8%. Itu sama persis dengan India saat ini,” ungkapnya dalam The International Seminar and Growth Academy Asean di Aula Dhanapala Kemenkeu, Senin (23/9/2024).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa secara historis pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu mencatatkan 7% - 8% hingga 10% pada rentang 1968 hingga 1998. Suharto memulai kepemimpinannya dengan ekonomi tumbuh hingga 10,92% pada tahun 1968.
Namun seolah berbanding terbalik dengan awal kepemimpinannya, pada akhir rezim Orde Baru pada tahun 1998, ekonomi anjlok hingga menyentuh angka -13,13%.
Baca Juga
Jungkir Balik Ekonomi Soeharto
Bisnis mencatat bahwa selain ditopang oleh kalangan intelektual, stabilitas ekonomi rezim Soeharto didorong oleh booming minyak dan gas atau migas selama dekade 1970-an. Indonesia waktu itu memperoleh rejeki nomplok karena naiknya harga migas. Berkah yang kemudian berubah menjadi kutukan pada dekade selanjutnya.
Wakil Presiden era Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY, Boediono, dalam arsip pemberitaan Bisnis tahun 2019 silam memberikan kesaksian tentang jatuh bangun ekonomi Indonesia era Soeharto.
Boediono bercerita sebelum tahun 1983, komoditas minyak bumi dan gas alam (migas) benar-benar menjadi andalan. Migas adalah urat nadi bagi pengelolaan fiskal saat itu. Sedangkan, potensi penerimaan dari sektor nonmigas nyaris tak tergarap secara optimal.
Pemerintah, waktu itu, tak perlu bersusah payah untuk memenuhi target pendapatan. Istilahnya, tanpa perlu banyak effort, pendapatan dari migas mengucur sangat deras ke kantong negara. “Penerimaan migas luar biasa, tanpa keringat,” kata Boediono mengisahkan situasi pada waktu itu.
Surplus penerimaan migas membuat kantong pemerintah semakin tebal. Hasilnya, menurut data Bank Dunia, dari tahun 1971 – 1981 tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tidak pernah di bawah 5%. Tahun 1980, pertumbuhannya sempat tembus 10%.
Indonesia bahkan tercatat sebagai salah satu negara penghasil gas alam cair terbesar (LNG) di dunia pada 1981. Wajar, jika dalam dokumen APBN 1981/1982, target penerimaan minyak bersih termasuk LNG dipatok naik 22,6 persen atau US$11,3 miliar, dibandingkan proyeksi penerimaan pada 1980/1981 senilai US$9,2 miliar.
Namun situasi rupanya cepat berubah. Badai datang lebih awal. Proyeksi pemerintah meleset. Resesi menghempas dunia yang berujung anjloknya harga minyak. Ekspor migas maupun nonmigas 1982/1983 hanya mencapai US$20,04 miliar atau turun 15,1%. Khusus migas realisasi ekspornya hanya US$16,12 miliar atau terkontraksi hampir US$3,3 miliar.
Bank Dunia kemudian mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 1982 anjlok sangat dalam. Hanya tumbuh 2,2%.
Bulan madu pemerintah dengan komoditas migas pun telah usai. ”Kita kena shock karena harga [migas] anjlok, APBN kena masalah, neraca pembayaran kena masalah."
Persoalan Struktural
Setelah resesi global pada 1982, arah ekonomi Indonesia mulai sedikit bergeser. Sektor nonmigas yang sebelumnya menjadi anak tiri mulai diperhatikan.
Ekspor dan impor, reformasi pajak hingga investasi berbasis industri terus didorong. Tak heran hingga 1996 kondisi ekonomi Indonesia relatif stabil. Pertumbuhan ekonomi rata-rata bisa di atas 6 persen.
Thee Kian Wie, ekonom senior dalam The Soeharto Era & After: Stability, Development and Crisis 1966 – 2000 menulis bahwa perkembangan positif tersebut tak lepas dari peran tim ekonomi Orde Baru. Pertumbuhan sektor manufaktur menjadi salah satu yang paling cepat di kawasan.
Pada tahun 1995, World Bank bahkan mencatat bahwa manufaktur Indonesia masuk tujuh kekuatan terbesar di antara negara-negara berkembang. Pertumbuhan manufaktur ini menunjukkan bahwa transformasi struktur perekonomian Indonesia mulai berjalan.
Sebagai perbandingan jika pada 1969 peran manufaktur hanya 9,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), pada 1995 kontribusi manufaktur ke PDB melesat ke angka 24,2 persen. Sebaliknya kontribusi sektor pertanian yang semula 49,3 persen pada 1969 hanya tersisa 17,2 persen pada 1995.
Namun demikian, perubahan struktur perekonomian ini tidak menjadi jaminan, stabilitas ekonomi Indonesia tidak bisa menahan tensi politik dari gerakan anti-Soeharto yang mulai memanas pada tahun 1996-an. Salah satu perisitiwa yang cukup menohok rezim Orde Baru yaitu penyerangan kantor PDI Pro Mega pada tanggal 27 Juli 1996.
Dokumen APBN 1996/1997 secara tidak langsung mengonfirmasi bahwa peningkatan tensi politik ikut menjalar ke aktivitas ekonomi. Pada periode tersebut, pemerintah menghadapi overheated economy atau suhu ekonomi yang memanas. Inflasi meroket 8,86 persen pada 1995/1996.
Sementara itu, defisit transaksi berjalan juga membengkak menjadi US$6,9 miliar dari sebelumnya yang hanya sekitar US$3 miliar. Kondisi ini semakin parah pada periode-periode setelahnya, apalagi munculnya krisis finansial secara global.
Seperti banyak diulas oleh para ekonom hingga akademisi, krisis finansial pada 1997 benar-benar menunjukkan bahwa struktur ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru cukup rapuh. Pemerintah sampai harus ngutang ke IMF buat stabilisasi ekonomi.
Sementara bagi "The Old General", untuk pertama kalinya, dia harus menghadapi tantangan yang cukup serius bagi kelangsungan kekuasaannya yang sudah berumur tiga dasawarsa.
Persoalan merosotnya kinerja ekonomi ibarat membuka kotak pandora. Masalah lainnya, terutama praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang dipraktikan orde daripada Soeharto dan kroni-kroninya mulai mengemuka ke publik.
Puncaknya krisis ekonomi terjadi cukup dalam, inflasi tembus di angka 77,6 persen, ekonomi minus 13,7 persen, kerusuhan sosial, demonstrasi dimana-mana dan Soeharto lengser keprabon setelah 32 tahun berkuasa.
Thee Kian Wie kembali menyinggung bahwa krisis finansial di Asia & terhempasnya ekonomi Indonesia akibat imbas krisis itu menunjukkan betapa pentingnya good governance, yang ironisnya pernah dianggap tidak relevan oleh para ekonom.
"Indonesia memiliki sistem hukum yang lemah dan ketinggalan zaman, tidak efisien, birokrasi yang korup serta tidak adanya demokrasi,” tulis dia dalam artikel yang sama.