Kisah Bhagavad Gita
Kisah Bhagavad Gita yang kutipannya ditukil Oppenheimer menggambarkan kisah Arjuna dan sepupunya Krishna (dalam bentuk Wisnu) di medan perang.
Dikisahkan, Arjuna berharap bisa membantu kakak tertuanya, Yudhishthira, sebagai penguasa kerajaan yang telah direbut oleh sepupu mereka Duryodhana melalui peperangan.
Akan tetapi, Arjuna dihadapkan pada fakta jika merebut kerajaan akan menimbulkan pertumpahan darah yang sangat besar.
Arjuna kemudian meminta pendapat Sri Krishna dan bertanya apakah takhta itu sepadan dengan harga pembunuhan begitu banyak orang yang dicintainya.
Menjawab pertanyaan Arjuna, Krishna mengatakan jika hal tersebut tidak sepadan. Ini membuat Arjuna kemudian menyerah.
Dari perspektif spiritual, damai tidak selalu menguntungkan bagi mereka yang berada di posisi benar. Apalagi jika harus dilakukan dengan mengorbankan banyak nyawa.
Baca Juga
Namun Krishna, yang akhirnya menyatakan dirinya sebagai manifestasi dari yang ilahi, sebenarnya menghukum Arjuna.
Sebagai seorang prajurit, dharma Arjuna adalah berperang, apa pun hasilnya. Begitu juga dengan kehidupan di mana manusia hanya perlu memenuhi dharmanya.
Keyakinan pada tatanan kosmik yang lebih tinggi menentukan bahwa semua makhluk haurs melaksanakan tanggung jawab mereka, bahkan ketika hal itu menyebabkan ketidakbahagiaan atau kesusahan.
Terinspirasi oleh kata-kata ini, Arjuna kemudian meminta Krishna untuk menunjukkan identitas kosmisnya.
Senang dengan perubahan hati sepupunya, Krishna menyetujui permintaan tersebut dan memanifestasikan tampilan yang membingungkan dari penglihatan yang menakjubkan, cemerlang dan tidak terbatas.
Pada saat inilah, ketika pancaran cahaya yang tak terduga berkobar dari bentuk yang tidak dapat dipahami yang mengandung semua yang pernah ada, Krishna mengatakan kalimat terkenal itu, menggambarkan dirinya sebagai "penghancur dunia".
Meski demikian, kalimat ini bukan untuk menanamkan rasa takut, tetapi untuk menekankan bahwa takdir akhir telah keluar dari tangan Arjuna.