Founder Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) Hendri Satrio mengatakan, langkah yang dipilih Jokowi tentunya baik apabila hanya dilihat dari citra politik, tetapi dikarenakan pelanggaran HAM berat merupakan bagian dari kasus hukum sehingga penyelesaian secara politis belum lengkap apabila tidak dibarengi oleh penyelesaian melalui jalur hukum.
“Jadi kalau hanya untuk citra [politik] ya bagus, tetapi yang ditunggu masyarakat ini khususnya oleh korban adalah tentang kejelaskan hukum, maka dari itu Pemerintah sebaiknya melengkapi langkah-langkah dengan kelengkapan kasus hukum,” tuturnya saat dihubungi Bisnis, Senin (16/1/2023).
Senada, Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago mengatakan soal pengentasan pelanggaran HAM berat ini menjadi salah satu janji dari Jokowi ketika menyalonkan diri sebagai calon presiden (Capres) sehingga merupakan etiket yang baik apabila Kepala Negara mulai menyicil untuk menyelesaikan janji-janji politiknya.
“Baik untuk menyelesaikan kasus yang merupakan beban Negara dari tahun ke tahun dari setiap Presiden ke presiden yang memang perlu diapresiasi, karena ada kemajuan untuk memberikan angin segar bagi korban sehingga ada bentuk upaya yang terjadi, tetapi tetap korban masih membutuhkan kerja dan realisasinya. Hal ini yang ditunggu ke depannya,” imbuhnya.
Sekadar informasi, Jokowi saat membuka Sidang Kabinet Paripurna terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di Istana Merdeka, pada hari ini, Senin (16/1/2023). Mantan Wali Kota Solo ini kembali mengingatkan jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju untuk terus mengawal dan menyelesaikan tugas mengenai pelanggaran HAM tersebut.
“Untuk fondasi stabilitas politik demokrasi kepastian hukum, rasa keadilan, dan penegakan HAM harus kita perkuat. Saya minta kepada seluruh menteri yang terkait terutama dalam perspektif HAM. saya minta tindak lanjut dari apa yang saya umumkan minggu lalu seluruh kementerian ikut bersama menindaklanjuti apa yang telah saya sampaikan mengenai pelanggaran berat masa lalu, yang non yudisial,” tutur Jokowi saat membuka Sidang Kabinet Paripurna, Senin (16/1/2023).
Baca Juga
Sebelumnya, Jokowi mengakui dan menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat telah terjadi pada berbagai peristiwa di Tanah Air.
“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” ujarnya, Rabu (11/1/2023).
Pada kesempatan tersebut, Presiden juga menyampaikan rasa simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban. Untuk itu, pemerintah akan berupaya memulihkan hak para korban secara adil dan bijaksana.
“Saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial,” katanya.
Selain itu, Jokowi menambahkan, pemerintah akan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM yang berat pada masa yang akan datang. Presiden pun menginstruksikan kepada Menkopolhukam Mahfud Md untuk mengawal hal tersebut.
“Saya minta kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Menkopolhukam untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah agar dua hal tersebut bisa terlaksana dengan baik,” katanya.
Lebih lanjut, Kepala Negara berharap upaya pemerintah tersebut dapat menjadi langkah berarti dalam pemulihan luka sesama anak bangsa.
“Semoga upaya ini menjadi langkah berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa guna memperkuat kerukunan nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” pungkas Jokowi.
Dalam hal ini, Presiden Jokowi mengakui dan menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat pada sejumlah peristiwa, yakni:
- Peristiwa 1965-1966;
- Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985;
- Peristiwa Talangsari, Lampung 1989;
- Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989;
- Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998;
- Peristiwa Kerusuhan Mei 1998;
- Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999;
- Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999;
- Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999;
- Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002;
- Peristiwa Wamena, Papua 2003; dan
- Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.