Terlepas dari jaminan ini, beberapa operator di sektor perhotelan merasa khawatir.
“Kami khawatir karena seperti yang kita tahu, tidak semua turis yang datang ke sini sudah menikah,” kata Eka Sri yang bekerja di Black Penny Villas di Ubud, Bali.
“Tapi sampai ada kejelasan, kami akan tetap berpegang pada peraturan yang ada dengan tidak memeriksa status perkawinan orang,” tambahnya.
Di Bintan, ada kekhawatiran serupa.
Agi Arisetyawan, Manajer Hotel Anmon Bintan mengatakan kepada CNA bahwa dia khawatir undang-undang baru itu dapat mempengaruhi pariwisata.
“Kebebasan turis bisa direnggut oleh hukum pidana baru yang menurut saya sangat bertentangan dengan konsep pariwisata,” ujarnya.
“Saya dan pelaku perhotelan lainnya sangat menolak KUHP dan semoga ada review-nya meski ini (baru) berlaku dalam tiga tahun. Karena ini tidak berpihak pada pariwisata Indonesia.”
UU tersebut merupakan revisi KUHP produk era Belanda yang diyakini sudah ketinggalan zaman karena disahkan pada masa penjajahan Belanda sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945.
KUHP baru terdiri dari 624 bab ini mencakup berbagai masalah dari hubungan intim di luar nikah hingga kebebasan berbicara.
Berbicara di DPR pada Selasa (6/12/2022) setelah RUU KUHP disahkan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan kepada wartawan bahwa mereka yang menentang KUHP baru dapat menggugatnya di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Tidak mudah bagi negara multikultural dan multietnis untuk membuat hukum pidana yang bisa mengakomodir semua kepentingan,” ujarnya.