Bisnis.com, JAKARTA – Persepsi sebagian masyarakat Indonesia masih cenderung mencampuradukkan Tionghoa Indonesia dengan Cina. Hal itu kembali muncul di permukaan seiring dengan meningkatnya kehadiran investasi dan tenaga kerja RRC di Tanah Air sejak satu dasawarsa terakhir.
Pernyataan tersebut disampaikan Johanes Herlijanto, Ketua dan Pendiri Forum Sinologi Indonesia (FSI), menanggapi isu mengenai tenaga kerja Cina yang merebak kembali beberapa minggu terakhir ini.
Menurut pemerhati Cina dan etnik Tionghoa dari Universitas Pelita Harapan itu, kembalinya kecenderungan mencampuradukkan persepsi Cina dan etnik Tionghoa tersebut dapat dianalisis dalam konteks ekspansi ekonomi RRC yang disertai upaya negeri itu menanamkan kuasa lunak (soft power)-nya di Indonesia.
“Namun demikian, kecenderungan diatas harus ditinggalkan, mengingat etnik Tionghoa sebenarnya telah sepenuhnya menjadi Indonesia setelah mengalami proses akulturasi selama berabad abad. Alih-alih berorientasi pada ‘tanah leluhur,’ mereka kini berpegang pada peribahasa luodi shenggen, yang artinya, kurang lebih, berakar pada tanah di mana mereka tinggal,” jelasnya.
Menurut Johanes, sebagaimana diungkapkan Profesor Suryadinata dalam buku berjudul The Rise of China and The Chinese Overseas: A Study of Beijing’s Changing Policy in Southeast Asia and Beyond.
Bila sebelumnya Cina menganggap semua Tionghoa perantauan sebagai warganya, maka sejak 1955 Beijing mendorong Tionghoa peranakan untuk berintegrasi dengan masyarakat di mana mereka tinggal.
Baca Juga
Sikap Cina di atas dipertegas kembali pada 1980, ketika Beijing menerbitkan sebuah undang undang kewarganegaraan, yang secara tegas melepaskan pengakuan Cina atas orang Tionghoa Perantauan yang telah memperoleh kewarganegaraan asing.
Dalam hal Tionghoa Indonesia, perjanjian dwikewarganegaraan di atas segera dilaksanakan beberapa tahun sejak penandatanganan perjanjian itu. “Namun berdasarkan catatan Profesor Leo Suryadinata, hingga awal 1970-an, baru dua perlima dari orang Tionghoa yang telah menjadi warga negara Indonesia,” tegas Johanes.
Jumlah etnik Tionghoa yang beralih menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) meningkat pada dasawarsa 1980-an, seiring dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No.13/1980 yang memberi kemudahan bagi orang Tionghoa yang masih memegang kewarganegaraan asing untuk mengajukan diri menjadi warga negara Indonesia.
Sebagai hasil dari percepatan proses naturalisasi di atas, maka seluruh orang Tionghoa Indonesia dewasa ini adalah sepenuhnya Indonesia, baik secara kewarganegaraan maupun identitas budaya.
Menurut Johanes, generasi yang didominasi oleh orang Tionghoa yang lahir atau tumbuh dewasa di zaman pemerintahan Orde Baru itu tidak memiliki memori mengenai Cina sebagai ‘tanah leluhur.’
Bagi mereka Indonesia adalah tanah air mereka. Oleh karenanya, Johanes berpendapat bahwa kecenderungan mencampuradukkan antara Tionghoa dan Cina, seyogyanya sudah dianggap usang dan harus ditinggalkan.
Namun demikian, dalam pandangannya, kembalinya minat Cina pada urusan terkait Tionghoa di luar Cina dalam satu dasawarsa terakhir ini berpotensi melanggengkan kembali kecenderungan usang di atas.
“Menurut Profesor Suryadinata, minat ini muncul kembali karena kepemimpinan Cina masa kini menganggap Tionghoa di luar Cina sebagai aset bagi negara mereka,” papar Johanes.
Sebagai contoh, dalam pidatonya pada 2014, Presiden Xi Jinping menyebut seluruh etnik Tionghoa sebagai “putra dan putri bangsa Cina” (Zhonghua Ernu), atau 'saudara sebangsa dari seberang lautan' (haiwai qiaobao), dan 'anggota dari keluarga besar bangsa Tionghoa' (zhonghua dajiaoting).
Sementara itu, khusus terhadap Tionghoa Indonesia, pemerintah Cina, melalui perwakilannya di Indonesia, seringkali menghimbau agar Tionghoa berperan sebagai jembatan bagi hubungan Indonesia dan China.
Johanes menilai, upaya untuk mendekati masyarakat Indonesia, termasuk komunitas Tionghoa maupun masyarakat Indonesia lainnya perlu dilihat bukan hanya dalam konteks meningkatnya investasi, tetapi juga diplomasi budaya dan strategi RRC menanamkan kuasa lunaknya.
Karenanya, penting bagi seluruh komponen bangsa Indonesia, termasuk etnik Tionghoa, untuk mengambil sikap yang paling tepat dalam konteks di atas.