Bisnis.com, JAKARTA -- Syahdan, usai Jepang mulai kalah dalam perang Asia Timur Raya, berbagai lobi dilakukan untuk mewujudkan gagasan Indonesia merdeka.
Ada sejumlah nama yang berperan dalam lobi-lobi tersebut. Paling lazim, tentu saja tokoh-tokoh populer seperti, Sukarno dan Mohammad Hatta.
Dua orang itu adalah bapak bangsa. Peran mereka sangat sentral. Atas nama kedua orang ini pula kemerdekaan Indonesia diumumkan secara luas ke seluruh penjuru dunia.
"Atas nama bangsa Indonesia, Sukarno-Hatta," demikian kalimat penutup teks Proklamasi yang monumental itu.
Tetapi cerita lahirnya proklamasi sejatinya tak sesingkat dan sepadat pembacaan teks tersebut. Proses perumusan teks dipenuhi intrik dan peristiwa yang sangat dinamis.
Ada kisah tentang penculikan, perdebatan tentang kapan proklamasi diumumkan dan pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Baca Juga
Sejarah mencatat, sebelum kemerdekaan diproklamasikan, ada dua kelompok yang saling bertentangan. Para sejarawan kemudian kompak membagi kelompok itu sebagai golongan tua dan golongan pemuda.
Golongan tua dimotori oleh Sukarno-Hatta serta anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Mereka umumnya adalah para elite politik yang bersikap kolaboratif selama pendudukan Jepang yang singkat.
Sementara golongan muda adalah kelompok pemuda yang terdiri dari beragam ideologi. Tokoh yang menonjol di golongan ini antara lain Chaerul Saleh, Sukarni, Jusuf Kunto, termasuk Wikana dan DN Aidit.
Wikana adalah seorang menak Sunda, salah satu tokoh revolusi yang namanya terkubur akibat Peristiwa Madiun 1948. Sementara Aidit, dalam narasi umum sejarah Indonesia dia dicap sebagai pengkhianat pasca peristiwa 1965.
Kedua golongan ini sebenarnya memiliki pandangan yang sama terkait proklamasi. Indonesia harus merdeka. Proklamasi harus segera diumumkan. Hanya caranya agak berbeda.
Golongan tua cenderung menghindari konflik. Mereka tidak konfrontatif. Sukarno dan Hatta, misalnya, lebih menginginkan kemerdekaan diproklamasikan melalui jalur-jalur yang sudah ditentukan salah satunya lewat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI daripada berhadapan langsung dengan Jepang.
Sedangkan golongan muda punya pandangan sebaliknya. Pengumuman kemerdekaan harus cepat dilakukan. Mereka menganggap PPKI adalah lembaga bentukan Jepang.
Sjahrir Lobi Hatta
Ada kisah menarik tentang PPKI sebelum konflik antara dua kubu itu mencuat. Kisah ini ditulis oleh ST Sularto dalam artikel Merdeka Sebelum Jagung Berbunga.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 sekitar pukul 16.00 WIB, Sutan Sjahrir datang ke rumah Bung Hatta. Selain membawa kabar soal kekalahan Jepang, Sjahrir juga menanyakan hasil pertemuan Bung Karno dan Hatta Cs dengan Jenderal Terauchi.
Jenderal Terauchi adalah Panglima Tertinggi Jepang di Asia Tenggara. Pada tanggal 9 Agustus dia mengundang Sukarno Cs untuk bertandang ke Dalat, Vietnam. Pertemuan itu terkait dengan pemberian kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.
Hatta sendiri menjawab dengan lugas pertanyaan Sjahrir. “Tergantung dari kita sendiri,” kata Hatta waktu itu.
Sjahrir segera menyergah pernyataan Hatta, menurutnya sebaiknya pengumuman kemerdekaan Indonesia jangan diserahkan kepada PPKI, karena ada kesan bahwa PPKI adalah bikinan Jepang.
Pernyataan Sjahrir itu sejalan dengan pola pikir pemuda yang tergabung dalam kelompok Menteng 31.
Kelak, hubungan panas dingin golongan tua-muda itu mencapai titik klimaks ketika peristiwa Rengasdengklok berlangsung. Penculikan tokoh golongan tua, yakni Sukarno dan Hatta, pada 16 Agustus 1945. Tepat 76 tahun lalu.
Setelah peristiwa penculikan di Rengasdengklok, Sukarno dan Hatta akhirnya membacakan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Bangsa Indonesia secara de facto menyatakan kemerdekannya. Tidak lagi dijajah Jepang atau bangsa asing manapun. Proklamasi kemudian menjadi momentum terbentuknya Republik Indonesia. Bentuk negara dengan segala dinamikanya seperti yang dikenal hingga kini.