Bisnis.com, JAKARTA - Amerika Serikat (AS) meminta militer Myanmar untuk membebaskan Aung San Suu Kyi setelah pemimpin itu digulingkan dan dijadikan tersangka pelanggaran hukum, sementara seruan untuk pembangkangan sipil menentang kudeta semakin meningkat.
Negara Asia Tenggara itu jatuh kembali ke pemerintahan militer setelah tentara menangkap para pemimpin sipil utama dalam serangkaian serangan fajar Senin (1/2/2021).
Hal itu kembali mengakhiri demokrasi di negara tersebut.
Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi, yang tidak pernah terlihat di depan umum sejak kudeta, memenangkan pemilu pada November tahun lalu.
Akan tetapi, militer beserta partai politik pendukungnya kalah dan menyatakan pemungutan suara itu curang.
Pihak NLD menyatakan, Aung San Suu Kyi yang berusia 75 tahun secara resmi didakwa dengan pelanggaran berdasarkan undang-undang impor dan ekspor Myanmar.
Baca Juga
Dia digugat ke pengadilan dengan masa penahanan dua minggu.
Tuduhan yang tidak biasa itu berasal dari penggeledahan di rumahnya. Dia dituduh memiliki alat komunikasi ilegal berupa walkie-talkie, menurut dokumen tuntutan polisi yang bocor dan dilihat oleh wartawan.
Tuduhan yang tidak lazim berdasarkan undang-undang manajemen bencana negara juga diberikan kepada Presiden Win Myint. Dia dituduh melanggar langkah-langkah penanganan Virus Corona.
Adapun, Amerika Serikat mengatakan "terganggu" dengan tuduhan itu.
"Kami menyerukan militer untuk segera membebaskan mereka semua," ujar Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price seperti dikutip ChannelNewsAsia.com, Kamis (4/2/2021). Tentara dan mobil lapis baja kembali ke jalan-jalan kota besar yang dilawan dengan aksi protes jalanan.
Dokter dan staf medis di beberapa rumah sakit di seluruh negeri mengenakan pita merah dan meninggalkan semua pekerjaan non-darurat untuk memprotes kudeta.
"Tujuan utama kami adalah hanya menerima pemerintah yang kami pilih," kata Aung San Min, kepala rumah sakit dengan 100 tempat tidur di distrik Gangaw.
Beberapa tim medis memposting gambar di media sosial sambil mengenakan pita merah. Mereka memberikan penghormatan tiga jari, gerakan protes yang digunakan oleh aktivis demokrasi di negara tetangga Thailand. Sedangkan, yang lain memilih untuk mengabaikan pekerjaan sama sekali.
"Protes saya dimulai hari ini dengan tidak pergi ke rumah sakit ... Saya tidak punya keinginan untuk bekerja di bawah kediktatoran militer," kata Nor Nor Wint Wah, seorang dokter di Mandalay.