Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengapa Perundungan dan Penganiayaan Kerap Menimpa Anak?

Kasus perundungan dan penganiayaan kerap terjadi kepada anak di Indonesia. Apa penyebabnya?
#JusticeForAudrey , tagar khusus terkait kasus perundungan terhadap seorang remaja putri di Pontianak, Kalimantan Barat./Istimewa
#JusticeForAudrey , tagar khusus terkait kasus perundungan terhadap seorang remaja putri di Pontianak, Kalimantan Barat./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA – Kasus perundungan anak kembali terjadi, kali ini di Pontianak, Kalimantan Barat. Perundungan yang dialami seorang anak berinisial AU (14) itu merupakan satu dari sekian banyak aksi kekerasan fisik serta psikologis yang kerap menimpa anak-anak di Indonesia.

Mengapa hal ini sering terjadi?

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati mengatakan fenomena kekerasan yang dilakukan dan ditujukan kepada anak menunjukkan kurangnya respek anak terhadap teman-temannya. Kebiasaan berkomunikasi secara positif dan karakter saling menghormati belum dimiliki mayoritas anak-anak Indonesia karena kurang berkualitasnya pendidikan yang dilakukan sekolah serta keluarga.

Dia menilai besar kemungkinan anak-anak kerap menjadi korban atau pelaku kekerasan karena pola asuh orang tua yang tidak tepat. Tekanan-tekanan yang diberikan orang tua membuat anak membutuhkan saluran untuk mengekspresikan emosinya.

“Terus, orang tua tidak jadi tempat nyaman bagi anak untuk bercerita sehingga anak-anak larinya ke luar,” ujar Rita kepada Bisnis, Kamis (11/4/2019).

Mengapa Perundungan dan Penganiayaan Kerap Menimpa Anak?

Kapolda Kalbar Irjen Pol Didi Haryono (kiri) didampingi Perwira Polda Kalbar Kompol Syarifah Salbiah (kanan) menemui LM (tengah), Ibu dari Au (14) yang menjadi korban penganiayaan pelajar SMU di Rumah Sakit Promedika Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (10/4/2019)./Antara-HS Putra

KPAI menganggap anak-anak di Indonesia kurang mendapat pengajaran soal sikap asertif, atau tegas, dari keluarga dan lembaga pendidikan. Akibatnya, mereka kerap bingung menyikapi perilaku teman-teman atau lingkungannya yang tidak baik.

Jika seorang anak memiliki sikap asertif, maka anak tersebut pasti bisa menyelesaikan perundungan atau penganiayaan yang dialami dengan lebih baik. Rita mencontohkan bukan tidak mungkin anak-anak bertanya kepada orang yang merundungnya ihwal maksud dan tujuan mereka melakukan itu.

“Kalau ada orang bully, ya dia tegas harus menanyakan ‘apa maksudnya dan mau bagaimana?’ Kalau misalnya seperti itu kan jangan baper juga, kalau ada apa-apa jangan mudah marah, klarifikasi dengan baik kan penting,” tuturnya.

Anak yang bersifat asertif juga diyakini bakal lebih berani menentukan mana sikap baik dan buruk yang dilakukan teman-temannya. Tetapi, ketegasan di diri mayoritas anak di Indonesia belum muncul lantaran mereka terbiasa menerima perintah dari lingkungan atau keluarganya.

Kurangnya sikap asertif diperparah dengan penetrasi media sosial yang makin besar dalam beberapa tahun terakhir. Akibatnya, banyak anak yang tidak mengerti dan memperhitungkan risiko yang akan dihadapi atas perilaku mereka di dunia maya.

Hal ini diperparah dengan mayoritas orang tua yang ternyata belum paham mengenai dampak negatif yang bisa muncul dari penetrasi media sosial terhadap anak-anak. Rita menyatakan harusnya edukasi mengenai hal ini dilakukan oleh keluarga atau sekolah.

Media sosial tak hanya menjadi "sumber" apa yang dilihat dan ditiru anak, tapi juga menjadi sarana penyebarluasan suatu peristiwa perundungan. Ada beberapa kasus di Indonesia di mana kejadian perundungan itu direkam oleh pelaku atau teman-teman pelaku dan disiarkan melalui media sosial mereka.

Mengapa Perundungan dan Penganiayaan Kerap Menimpa Anak?

Ilustrasi media sosial/Reuters-Beawiharta

Jumlah Kekerasan Terhadap Anak
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengklaim sudah berupaya menekan kasus kekerasan terhadap anak melalui sosialisasi dan pelatihan kepada orang tua, anak, dan aktivis masyarakat. Namun, upaya itu belum mampu menekan jumlah kekerasan yang dialami anak-anak di Indonesia.

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI), selama Januari-Desember 2018, ada 1.505 anak perempuan dan 1.682 anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan psikis. 

Jumlah korban kekerasan seksual bahkan jauh lebih besar. Tercatat ada 4.974 anak perempuan dan 5.567 laki-laki yang menjadi korban.

Sementara itu, jumlah anak perempuan yang menjadi korban kekerasan fisik di periode yang sama mencapai 1.253 orang. Untuk anak laki-laki, jumlahnya sebesar 1.336 orang.

Ada pula 408 anak perempuan dan 571 anak laki-laki yang menjadi korban penelantaran. Kemudian, 63 anak perempuan dan 68 anak laki-laki menjadi korban eksploitasi.

Terakhir, 101 anak perempuan dan 90 anak laki-laki menjadi korban trafficking dalam periode yang sama.

Bukan tak mungkin jumlahnya di lapangan jauh lebih banyak lagi karena tak seluruhnya bisa tercatat dalam data tersebut.

Data Kementerian PPPA juga menunjukkan bahwa pelaku kekerasan fisik pada anak laki-laki paling banyak dilakukan teman mereka, yakni mencapai 73,11%. Setelah itu, kekerasan banyak dilakukan oleh ayah (41,10%), ibu (40,35%), kerabat (18,55%), dan guru (13,52%).

Terhadap anak perempuan, kekerasan fisik paling banyak dilakukan teman (74,37%). Disusul oleh ibu (66,34%), guru (23,34%), ayah (21.58%), dan kerabat (12,08%).

Mengapa Perundungan dan Penganiayaan Kerap Menimpa Anak?

Ilustrasi hubungan orang tua dan anak./Webmd

Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian PPPA Nahar menuturkan penganiayaan terhadap anak kerap terjadi karena adanya masalah pola asuh di keluarga.

Tumbuhnya budaya kekerasan yang kemudian membentuk anak mudah tersinggung, gampang berpikir negatif, mudah curiga, gampang putus asa, lemah berjuang, serta mudah menyalahkan dan agresif juga menjadi penyebabnya.

"Dari kegagalan pengasuhan, biasanya dapat menjadi pemicu tumbuhnya budaya kekerasan, dan anak dapat melakukan pelanggaran norma sosial serta bahkan terjebak pada pelanggaran hukum," paparnya kepada Bisnis.

Pengaruh Lingkungan
Psikolog dari Yayasan Pulih Gisella Tani Pratiwi menerangkan semua pihak yang berada di sekitar anak pasti berpengaruh terhadap perilaku anak. Pengaruh juga berasal dari interaksi anak di dunia maya melalui beragam media sosial.

Tetapi, pengaruh dari lingkungan tak serta merta membuat anak berubah sikap dan perilakunya. Perubahan sikap dan perilaku juga dipengaruhi faktor pribadi dan support yang diterima sang anak selama ini.

“Jadi tak semua orang yang melihat aksi kekerasan lalu dia akan meniru, tidak semua anak seperti itu. Bisa jadi yang terjadi di lingkungan menambah kerentanan seseorang untuk melakukan aksi kekerasan. Tapi, kita perlu melihat komprehensif apa saja yang membuat dia rentan,” jelasnya.

Menurut Gisella, keluarga sebagai kelompok terdekat dengan anak memegang peran penting untuk menjaga kondisi anak. Oleh karena itu, segala hal yang terjadi di keluarga bisa berpengaruh terhadap perilaku anak sehari-hari.

Mengapa Perundungan dan Penganiayaan Kerap Menimpa Anak?

Ilustrasi lingkungan sekolah./Antara

Dia memandang saat ini, sedang ada perubahan yang terjadi di masyarakat Indonesia dalam hal mencari pendekatan yang sesuai dengan anak di era masifnya perkembangan teknologi informasi. Perubahan ini membuat bentuk-bentuk pendekatan yang dilakukan keluarga terhadap anak berbeda-beda.

“Masyarakat sedang mencari yang paling cocok pendekatan kepada anak-anak Indonesia seperti apa. Dengan berbagai macam campuran nilai-nilai yang berkembang ya mungkin beberapa pendekatan kurang tepat atau perlu pembelajaran kembali,” ucap Gisella.

Sementara itu, Ketua Umum YLBHI Asfinawati menilai pendidikan terhadap anak di sekolah dan keluarga harus dievaluasi serius mengingat semakin banyaknya fenomena anak tidak bisa membedakan perbuatan salah dan benar. Evaluasi penting dilakukan terlebih saat penetrasi media sosial semakin deras terjadi.

Dia berpendapat selain menggunakan pendekatan agama, harus ada cara lain untuk mengatasi persoalan yang dihadapi anak-anak pada saat ini.

“Soal kekerasan seksual, menurut saya, tidak aneh jika anak-anak ini tidak sensitif bahwa yang dilakukannya adalah kekerasan seksual. Karena saya pikir nyaris di seluruh sekolah Indonesia tidak mengajarkan tentang kekerasan seksual, tidak mengajarkan bahwa seorang anak mempunyai integritas atas tubuhnya yang tidak bisa dicampuri, tidak ada pelajaran ini di sekolah,” tegas Asfinawati.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Lalu Rahadian
Editor : Annisa Margrit
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper